Jalan-jalan Minggu
Cerpen: Pidi Baiq
Sudah enam bulan ini saya sudah tidak pernah lagi jogging
pagi. Hari ini juga tidak karena hari ini juga saya harus pergi. Bukan harus.
Tapi ingin. Naik motor, bawa anak dan istri.
Setiap Minggu kami biasanya begitu. Bukan biasa. Lebih tepatnya kadang-kadang. Pergi ke Metro di daerah Kompleks Margahayu Raya. Ada pasar kaget di sana. Pengunjungnya banyak. Pedagangnya juga banyak, pada saling teriak. Ada suara Jawa, ada suara Sunda, Batak, dan suara-suara lainnya, yang sulit didentifikasi karena sudah tercampur oleh bahasa daerah lain, daerah tempat di mana ia kemudian menetap dan menikah. Punya anak. Punya KTP.
**
Di Metro, saya parkir motor di tempat yang sama orang lain juga parkir di sana. Juru parkir kasih saya kartu warna biru yang terbuat dari bahan semacam mika. Juru parkir memegang kartu warna merah dengan nomor yang sama yang diberikan kepada saya. Nomor 32.
"Oh", kataku.
"Boleh minta nomor yang lain gak, A?"
"Boleh", jawabnya, "Nomor berapa, Kang?"
"Nomor cantik laa...."
"Nah ini," si juru parkir kasih saya kartu dengan nomor 73.
"Ini nomor cantik gitu?"
"Nomor cantik, Kang!"
"Nanti itu ya, A," kataku kepadanya, "Agama akan terbagi ke dalam 73 golongan. Hanya satu golongan yang benar, yang diterima di sisi Allah."
"Kang, bentar ya," kata si juru parkir sambil pergi menghampiri motor lain yang masuk parkir.
**
Sungguh, saya masih tetap di atas motor ketika saya lihat si juru parkir kembali menghampiri saya.
"Nomor 73 aja, Kang?" tanyanya.
"Tadi orang itu nomor berapa?" tanyaku.
"Aduh, gak inget, Kang."
"Padahal saya pengen nomor yang tadi dikasih ke orang itu lho, A."
"Nomor berapa gitu?" dia bertanya.
"Nomor 34, kan?"
"Iya kali."
"Ya udah, ada nomor lain, A?"
"Yang ini?" Dia menunjukkan kartu nomor 45.
"Ya gak apa-apalah"
"Kang, bentar ya!" katanya kepadaku sambil lalu menghampiri motor yang mau keluar dari tempat parkir. Tidak lama kemudian dia kembali lagi menemui saya.
"Ya udahlah, A, nomor 45 aja," kataku, "Kebetulan ini kan Agustus. Macam untuk merayakan kemerdekaan, aku ambil kartunya. Mas, Mas, bentaaaar aja. Sebenarnya ada pengaruhnya enggak sih, nomor parkir itu?" tanyaku.
Turun dari motor.
"Buat bukti ngambil motor, Kang!”
"Aduh, gak ngerti, A," kataku sambil memasang standar motor.
"Yah pentinglah, A."
"Yang saya maksud itu nomornya," saya berdiri di dekat motor. Memainkan kunci motor.
"Duh, Kang. Nomor mah bisa bebas."
"Terus kenapa tadi saya harus pilih-pilih?" tanyaku.
"Kan si Akang yang minta. Tadi minta nomor cantik."
"Ya udah, gak usah dibahaslah ya, A. Makasih ya, A."
"Sama-sama. Bentar, kang." Lari pergi mengatur tempat buat motor yang baru masuk.
**
Eh, anak istriku sudah jauh jalan rupanya. Saya cari-cari dengan melempar pandang ke banyak arah. Saya hampiri seorang bapak yang pakai seragam hansip. Dia lagi ngopi sambil duduk di trotoar jalan. Sudah tua. Sudah nyaris kakek-kakek.
"Pak, lihat Rosi sama Timur gak?"
"Rosi siapa ya?" tanyanya.
"Istri sama anak saya, Pak, masak gak kenal," jawabku.
"Enggak, Den. Ke mana gitu?"
"Tadi bareng saya sih, tapi pas saya selesai bersin dia sudah enggak ada. Ke mana ya?" tanyaku seperti kepada diri saya sendiri. Saya lemparkan pandangan ke arah jauh.
"Masa? Istrinya bawa HP gak?"
"Enggak ada nomornya, Pak".
"Euh, atuh."
"Menurut Bapak mungkin enggak ya dia selingkuh?" tanyaku.
"Si Aden mah, paling-paling belanja atuh, Den," katanya.
"Harusnya dia bilang dulu, Pak, izin dulu sama saya sebagai suaminya kalau mau pergi," kataku. Si Bapak Hansip sedikit bergeser karena saya duduk di sebelahnya.
"Biar nanti kalau di rumah saya pukulin dia," ancamku pada diri sendiri, "Biar kapoklah, Pak!"
"Ah, Si Aden mah," katanya.
"Bapak pernah nyiksa istri gak?" tanyaku.
"Enggak pernah lah, Den! Kopi, Den?" mengangkat gelas kopinya.
"Udah tahu atuh, Bapak," jawabku. Si Bapak meminum kopinya.
"Pak, si Bapak pasti sangat baik sama istri ya, Pak?"
"Iya. Cari ke sana atuh, Den," anjurnya.
"Si Bapak, ngusir ya?"
"Bukan, maksudnya cari ke sana, mungkin belum jauh."
"Temenin yuk, Pak."
"Lagi jaga, Den," katanya.
"Menjaga siapa?" tanyaku.
"Ya, keamanan gitu," jawabnya.
"Ya udah. Saya cari dulu ya, Pak."
"Silakan. Silakan. Silakan!"
"Eh nama Bapak boleh saya catat, Pak?"
"Buat apa?" tanyanya.
"Buat kenang-kenangan aja. Biar inget kita pernah ngobrol," kataku.
"Lah, gak usahlah."
"Biarin, Pak. Siapa namanya, Pak?"
"Endi!"
"Oh. Endi. Pak Endi. Mangga, Pak!"
"Mangga. Mangga. Silakan, Den"
"Pak, bilang sama pak lurahnya, nulis HANSIP itu harusnya. HANSIF, pake F," kataku sambil beranjak dari duduk.
"Ah, gak tahu bapak mah".
"Mangga, Pak!"
"Mangga."
"Bukan permisi, Bapaaaak. Itu. Yang lagi bapak makan itu? Mangga ya?" saya menunjuk kue bungkus dekat gelas kopinya.
"Oh, bukan. Bandros, Den!"
"Mangga, Pak?"
"Bandros!"
"Bukan. Saya pergi dulu, Pak!"
"Ooh. Mangga. Mangga. Mangga!"
"Tadi katanya Bandros! Si Bapak mah gimana sih," kataku sambil lalu pergi,"Assalamualaikum."
"Alaikumsalam."
**
"Ayah!" terdengar suara anakku teriak memanggil. Rupanya dia sedang dengan ibunya, sudah lagi duduk di sebuah Pujasera.
"Ke mana sih?" tanya istriku.
"Anu. Tadi tukang parkir nanya-nanya segala. Bikin lama aja. Minta tips cara membangun keluarga sakinah, sama bagaimana caranya bisa mendapatkan istri yang cantik. Cerewet banget, sampe nanya istrinya mendominasi enggak, menyetujui praktik poligami enggak. Kalau pulang malam-malam istrinya marah gak. Udah umrah belum? Banyaklah."
"Ngapaiiin? Ada-ada aja!" katanya.
"Gak tahu. Ya biarin aja lah. Udah pada pesen belum?"
"Belum. Dari tadi nunggu si ayah lama banget."
Lalu kami memesan makanan sendiri-sendiri sesuai selera masing diri.
"Bu, kalau mau belanja nunggu biar agak siang aja. Biar lowong dulu. Masih banyak orang sekarang.”
"Iya. Sekarang masih berdesakan," katanya.
"Di samping itu, kalau jumlah permintaan lebih banyak harga akan otomatis tinggi. Kalau sebaliknya, harga akan relatif murah!"
"Jam sebelasan lah", tawarnya.
"Sip!"
**
Di tengah kami menikmati makanan, ada seorang pengemis menghampiri. Dia berupa bapak-bapak. Saya rasa dia masih muda dan kuat. Pake topi yang dibiarkan menyembunyikan wajahnya. Saya kasih dia uang seribu. Lalu dia mendoakan saya agar diberi tambahan rezeki.
"Pak," kataku selagi dia mau pergi, "Harusnya Bapak juga mendoakan diri bapak dong. Biar dapat tambahan rizki. Biar kaya. Biar enggak usah minta-minta."
"Iya, Den," sahutnya sambil ngeloyor pergi.
"Tahu gak, Bu," kata saya pada istri, "Pengemis adalah salah satu penyebab si Karma dalam cerita komik Si Soleh dan Si Karma, masuk neraka. Coba kalau pengemis enggak datang meminta uang ke si Karma, mungkin dia tidak akan berdosa karena mengusir pengemis," kataku.
"Ya, pengemis juga kan sudah menyebabkan si Soleh masuk surga karena memberi uang sama pengemis," timpalnya sambil pergi ke toilet.
**
Telepon selulerku berbunyi. Dari Syamsudin, temanku, alumnus Kimia ITB, dia tanya mau dijual enggak rumah saya yang di Padalarang.
"Buat kamu aja, Syam," jawabku.
"Ngawur, luh," katanya.
"Eh serius," jawabku, "Kayak yang gak tahu gua kaya lu."
"Ye. Bener mau dijual gak? Kalau mau dijual, ada yang mau beli."
"Nanti aja diobrolin di kantorlah, saya lagi sama cewek nih."
"Wuih. Main cewek luh?"
"Freelaaaance!!", kataku, "Yang tetap kan istri."
"He he. Ya sudah ya."
"Eh, Syam... Syam!"
"Apa?"
"Tahu yang jualan kuda nil di mana ya?”
"Hah? Di mana? Buat apa kuda nil? Ngaco, Lu!"
"Ya udah nanti sekalian diobrolin di kantor ya?"
"Iya lah."
"Serius, Syam, obrolin soal kuda nil juga ya?"
"Iya lah."
"Nuhun, Syam." Klik.
"Siapa, Ayah?" tanya anakku.
"Teman ayah. Om Syam. Nanya rumah kita mau dijual enggak."
"Bukan, Ayah, yang mau beli kuda nil siapa?”
"Oooh. Ayah becanda."
"Yah, ada gitu yang jual kuda nil?"
"Ada mungkin."
"Beli, Yah."
"Susah, di mana?"
"Di Lembang ada gak, Yah?"
"Paling juga di Mesir. Mana si ibu?"
Setiap Minggu kami biasanya begitu. Bukan biasa. Lebih tepatnya kadang-kadang. Pergi ke Metro di daerah Kompleks Margahayu Raya. Ada pasar kaget di sana. Pengunjungnya banyak. Pedagangnya juga banyak, pada saling teriak. Ada suara Jawa, ada suara Sunda, Batak, dan suara-suara lainnya, yang sulit didentifikasi karena sudah tercampur oleh bahasa daerah lain, daerah tempat di mana ia kemudian menetap dan menikah. Punya anak. Punya KTP.
**
Di Metro, saya parkir motor di tempat yang sama orang lain juga parkir di sana. Juru parkir kasih saya kartu warna biru yang terbuat dari bahan semacam mika. Juru parkir memegang kartu warna merah dengan nomor yang sama yang diberikan kepada saya. Nomor 32.
"Oh", kataku.
"Boleh minta nomor yang lain gak, A?"
"Boleh", jawabnya, "Nomor berapa, Kang?"
"Nomor cantik laa...."
"Nah ini," si juru parkir kasih saya kartu dengan nomor 73.
"Ini nomor cantik gitu?"
"Nomor cantik, Kang!"
"Nanti itu ya, A," kataku kepadanya, "Agama akan terbagi ke dalam 73 golongan. Hanya satu golongan yang benar, yang diterima di sisi Allah."
"Kang, bentar ya," kata si juru parkir sambil pergi menghampiri motor lain yang masuk parkir.
**
Sungguh, saya masih tetap di atas motor ketika saya lihat si juru parkir kembali menghampiri saya.
"Nomor 73 aja, Kang?" tanyanya.
"Tadi orang itu nomor berapa?" tanyaku.
"Aduh, gak inget, Kang."
"Padahal saya pengen nomor yang tadi dikasih ke orang itu lho, A."
"Nomor berapa gitu?" dia bertanya.
"Nomor 34, kan?"
"Iya kali."
"Ya udah, ada nomor lain, A?"
"Yang ini?" Dia menunjukkan kartu nomor 45.
"Ya gak apa-apalah"
"Kang, bentar ya!" katanya kepadaku sambil lalu menghampiri motor yang mau keluar dari tempat parkir. Tidak lama kemudian dia kembali lagi menemui saya.
"Ya udahlah, A, nomor 45 aja," kataku, "Kebetulan ini kan Agustus. Macam untuk merayakan kemerdekaan, aku ambil kartunya. Mas, Mas, bentaaaar aja. Sebenarnya ada pengaruhnya enggak sih, nomor parkir itu?" tanyaku.
Turun dari motor.
"Buat bukti ngambil motor, Kang!”
"Aduh, gak ngerti, A," kataku sambil memasang standar motor.
"Yah pentinglah, A."
"Yang saya maksud itu nomornya," saya berdiri di dekat motor. Memainkan kunci motor.
"Duh, Kang. Nomor mah bisa bebas."
"Terus kenapa tadi saya harus pilih-pilih?" tanyaku.
"Kan si Akang yang minta. Tadi minta nomor cantik."
"Ya udah, gak usah dibahaslah ya, A. Makasih ya, A."
"Sama-sama. Bentar, kang." Lari pergi mengatur tempat buat motor yang baru masuk.
**
Eh, anak istriku sudah jauh jalan rupanya. Saya cari-cari dengan melempar pandang ke banyak arah. Saya hampiri seorang bapak yang pakai seragam hansip. Dia lagi ngopi sambil duduk di trotoar jalan. Sudah tua. Sudah nyaris kakek-kakek.
"Pak, lihat Rosi sama Timur gak?"
"Rosi siapa ya?" tanyanya.
"Istri sama anak saya, Pak, masak gak kenal," jawabku.
"Enggak, Den. Ke mana gitu?"
"Tadi bareng saya sih, tapi pas saya selesai bersin dia sudah enggak ada. Ke mana ya?" tanyaku seperti kepada diri saya sendiri. Saya lemparkan pandangan ke arah jauh.
"Masa? Istrinya bawa HP gak?"
"Enggak ada nomornya, Pak".
"Euh, atuh."
"Menurut Bapak mungkin enggak ya dia selingkuh?" tanyaku.
"Si Aden mah, paling-paling belanja atuh, Den," katanya.
"Harusnya dia bilang dulu, Pak, izin dulu sama saya sebagai suaminya kalau mau pergi," kataku. Si Bapak Hansip sedikit bergeser karena saya duduk di sebelahnya.
"Biar nanti kalau di rumah saya pukulin dia," ancamku pada diri sendiri, "Biar kapoklah, Pak!"
"Ah, Si Aden mah," katanya.
"Bapak pernah nyiksa istri gak?" tanyaku.
"Enggak pernah lah, Den! Kopi, Den?" mengangkat gelas kopinya.
"Udah tahu atuh, Bapak," jawabku. Si Bapak meminum kopinya.
"Pak, si Bapak pasti sangat baik sama istri ya, Pak?"
"Iya. Cari ke sana atuh, Den," anjurnya.
"Si Bapak, ngusir ya?"
"Bukan, maksudnya cari ke sana, mungkin belum jauh."
"Temenin yuk, Pak."
"Lagi jaga, Den," katanya.
"Menjaga siapa?" tanyaku.
"Ya, keamanan gitu," jawabnya.
"Ya udah. Saya cari dulu ya, Pak."
"Silakan. Silakan. Silakan!"
"Eh nama Bapak boleh saya catat, Pak?"
"Buat apa?" tanyanya.
"Buat kenang-kenangan aja. Biar inget kita pernah ngobrol," kataku.
"Lah, gak usahlah."
"Biarin, Pak. Siapa namanya, Pak?"
"Endi!"
"Oh. Endi. Pak Endi. Mangga, Pak!"
"Mangga. Mangga. Silakan, Den"
"Pak, bilang sama pak lurahnya, nulis HANSIP itu harusnya. HANSIF, pake F," kataku sambil beranjak dari duduk.
"Ah, gak tahu bapak mah".
"Mangga, Pak!"
"Mangga."
"Bukan permisi, Bapaaaak. Itu. Yang lagi bapak makan itu? Mangga ya?" saya menunjuk kue bungkus dekat gelas kopinya.
"Oh, bukan. Bandros, Den!"
"Mangga, Pak?"
"Bandros!"
"Bukan. Saya pergi dulu, Pak!"
"Ooh. Mangga. Mangga. Mangga!"
"Tadi katanya Bandros! Si Bapak mah gimana sih," kataku sambil lalu pergi,"Assalamualaikum."
"Alaikumsalam."
**
"Ayah!" terdengar suara anakku teriak memanggil. Rupanya dia sedang dengan ibunya, sudah lagi duduk di sebuah Pujasera.
"Ke mana sih?" tanya istriku.
"Anu. Tadi tukang parkir nanya-nanya segala. Bikin lama aja. Minta tips cara membangun keluarga sakinah, sama bagaimana caranya bisa mendapatkan istri yang cantik. Cerewet banget, sampe nanya istrinya mendominasi enggak, menyetujui praktik poligami enggak. Kalau pulang malam-malam istrinya marah gak. Udah umrah belum? Banyaklah."
"Ngapaiiin? Ada-ada aja!" katanya.
"Gak tahu. Ya biarin aja lah. Udah pada pesen belum?"
"Belum. Dari tadi nunggu si ayah lama banget."
Lalu kami memesan makanan sendiri-sendiri sesuai selera masing diri.
"Bu, kalau mau belanja nunggu biar agak siang aja. Biar lowong dulu. Masih banyak orang sekarang.”
"Iya. Sekarang masih berdesakan," katanya.
"Di samping itu, kalau jumlah permintaan lebih banyak harga akan otomatis tinggi. Kalau sebaliknya, harga akan relatif murah!"
"Jam sebelasan lah", tawarnya.
"Sip!"
**
Di tengah kami menikmati makanan, ada seorang pengemis menghampiri. Dia berupa bapak-bapak. Saya rasa dia masih muda dan kuat. Pake topi yang dibiarkan menyembunyikan wajahnya. Saya kasih dia uang seribu. Lalu dia mendoakan saya agar diberi tambahan rezeki.
"Pak," kataku selagi dia mau pergi, "Harusnya Bapak juga mendoakan diri bapak dong. Biar dapat tambahan rizki. Biar kaya. Biar enggak usah minta-minta."
"Iya, Den," sahutnya sambil ngeloyor pergi.
"Tahu gak, Bu," kata saya pada istri, "Pengemis adalah salah satu penyebab si Karma dalam cerita komik Si Soleh dan Si Karma, masuk neraka. Coba kalau pengemis enggak datang meminta uang ke si Karma, mungkin dia tidak akan berdosa karena mengusir pengemis," kataku.
"Ya, pengemis juga kan sudah menyebabkan si Soleh masuk surga karena memberi uang sama pengemis," timpalnya sambil pergi ke toilet.
**
Telepon selulerku berbunyi. Dari Syamsudin, temanku, alumnus Kimia ITB, dia tanya mau dijual enggak rumah saya yang di Padalarang.
"Buat kamu aja, Syam," jawabku.
"Ngawur, luh," katanya.
"Eh serius," jawabku, "Kayak yang gak tahu gua kaya lu."
"Ye. Bener mau dijual gak? Kalau mau dijual, ada yang mau beli."
"Nanti aja diobrolin di kantorlah, saya lagi sama cewek nih."
"Wuih. Main cewek luh?"
"Freelaaaance!!", kataku, "Yang tetap kan istri."
"He he. Ya sudah ya."
"Eh, Syam... Syam!"
"Apa?"
"Tahu yang jualan kuda nil di mana ya?”
"Hah? Di mana? Buat apa kuda nil? Ngaco, Lu!"
"Ya udah nanti sekalian diobrolin di kantor ya?"
"Iya lah."
"Serius, Syam, obrolin soal kuda nil juga ya?"
"Iya lah."
"Nuhun, Syam." Klik.
"Siapa, Ayah?" tanya anakku.
"Teman ayah. Om Syam. Nanya rumah kita mau dijual enggak."
"Bukan, Ayah, yang mau beli kuda nil siapa?”
"Oooh. Ayah becanda."
"Yah, ada gitu yang jual kuda nil?"
"Ada mungkin."
"Beli, Yah."
"Susah, di mana?"
"Di Lembang ada gak, Yah?"
"Paling juga di Mesir. Mana si ibu?"
0 komentar:
Posting Komentar