Malam itu berbeda dengan malam-malam sebelumnya. Malam itu sungguh aneh. tak biasanya lolongan anjing bersambutan dengan suara kokokan ayam. Padahal di Desa itu tak satu pun terdapat anjing. Zul beserta teman-teman santri lainnya mulanya mengurungkan niatnya untuk tidur di rumah kakekku. Namun demi seorang guru, ia memberanikan diri melangkahkan kaki bersama teman-temannya pergi ke rumah beliau.
Seperti biasa, Zul bersama Paozan, Zainuddin, Wawan, Sabri, beserta dua orang anak kakekku yang tak lain adalah Alya dan Afif sebelum tidur mendengarkan dengan seksama setiap ucapan yang dikeluarkan oleh kakekku. “Hitung-hitung mendengarkan ceramah” kata mereka. Dan entah kenapa malam itu ceramah kakekku sepertinya terlalu singkat untuk membuat mereka begadang. Zul pun mengajak teman-temannya merebahkan diri di berugak dekat kolam ikan belakang rumah kakekku itu.
“Zul, bangun…!” kakekku membangunkan Zul segera. Lalu Zul membangunkan teman-temannya yang lain, termasuk kedua orang anak kakekku itu. Karena memang mereka berdua lebih suka tidur bersama-sama dibanding sendirian di dalam kamar.
Tak disangka, mata mereka langsung disoroti lampu senter yang memang sengaja dibawa para perampok itu. Jantung mereka bertujuh berdetak dengan kencangnya. Mereka duduk di berugak itu dipenuhi rasa takut dan hanya bisa menyaksikan perlakuan para perampok itu terhadap kakekku. Begitu juga dengan isteri kedua dari kakekku, ia bersembunyi di kamar mandi menelpon siapa saja yang bisa membantu. Namun apa daya, ia keburu ditemukan oleh para perampok biadab itu. Mereka semua tak mampu berbuat apapun. Mereka hanya bisa menanti keajaiban dari Allah. Sedang kakekku yang pemberani itu tanpa ragu-ragu menghadapi para perampok itu, bukan untuk melawan, namun memperingati mereka. Zul dan teman-temannya pun hanya bengong melihat hal itu.
“Astaghfirullahal Azim..!!!” kakekku menjerit ketika mereka, para perampok itu memukuli kakekku berkali-kali dengan kayu. Tak puas dengan itu, mereka menggerogoti kantong beliau, lalu masuk ke rumah mencari harta benda berharga lainnya. Rupanya kata-kata kakekku tak mampu meluluhkan hati mereka. Bahkan mereka semakin ganasnya memukuli kakekku.
Zainuddin yang kini mulai gelisah tak berani lagi menyaksikan kejadian itu. Secara diam-diam, ia turun dari berugak lalu meloncati pagar belakang rumah kakekku itu. Perlakuan Zainuddin diikuti Sabri, Wawan serta kedua anak kakekku. tak ketinggalan, Paozan pun menyusul. Mereka kabur dari tempat itu kembali ke asrama yang jaraknya cukup jauh, sekitar 400 meter. Mereka kembali melalui persawahan mengikuti hilir parit yang berasal dari dekat lingkungan Pondok.
Sedangkan bagaimana dengan Zul? Ia duduk dengan pasrah di berugak itu. Ia tak mau kehilangan guru tercintanya. Walaupun ia hanya terdiam tanpa perlawanan, namun tak ada yang lebih berani dibanding dirinya. Ia tak sedikit pun diganggu oleh perampok itu, walau handphone satu-satunya itu dirampas.
Aku bersama teman-teman santri di pesantren rupanya telah tertidur lelap. Kami tidur bersama di musholla, karena memang seperti yang kukatakan bahwa malam itu agak sedikit berbeda dari malam-malam sebelumnya. Kami yang tengah tertidur pulas mulai mendengar sayup-sayup sebuah suara. Ya, itu adalah suara Wawan dan Sabri. Kami pun terbangun dan kulihat air mata mereka berlinang.
Sementara Paozan dan Zainuddin tak langsung membangunkan teman-teman yang lain. Rupanya mereka masih menenangkan diri. Dua pamanku, Alya dan Afif yang masih duduk di bangku SD itu juga segera membangunkan Nenekku untuk memberitahunya tentang apa yang telah terjadi.
“Woe.. bangun semua…!!!” suara Wawan dan Sabri tersendat-sendat. Air mata mereka menetes. Kami semua terbangun. Kami kaget setelah Wawan mengucapkan kalimat itu. Ya, ia mengatakan “ada perampok di rumah Mamik”. Sejurus aku tak percaya. Namun karena wajah mereka menggambarkan kejujuran, aku terburu rasa penasaran disertai perasaan takut.
Kami sekarang gelisah. “Apa yang harus kita lakukan?” Tanya kami serempak. Mengingat ini adalah kejadian paling kami takutkan, dengan segera kami membangunkan Pamanku, Abu Nia serta Kakek Kaspi, yang rumah mereka memang terletak di lingkungan pondok pesantren kakekku itu.
Aku dan teman-teman yang lain mengambil bongkahan kayu yang berjejer di depan asrama putri. Kami sesegera mungkin berlari agar sampai di rumah kakekku yang sedang dipenuhi perampok itu. Dalam perjalanan kesana, kami menyempatkan diri untuk menelepon Polisi.
“Mana mereka?” teriak kakek Kaspi. Namun apa daya. Mereka semua telah sirna dengan meninggalkan Zul yang sedang meratapi kakekku yang mukanya berlumuran darah itu. Di berugak yang menjadi saksi bisu itu, kami semua menangis melihat polosnya kakekku yang berlumuran darah itu. Pamanku menangis, kakek Kaspi menangis, aku menangis, semua menangis. Lebih-lebih Zul yang menyaksikan secara langsung peristiwa itu, menangis dengan nyaringnya.
Wajah kakekku tak sedikit pun menggambarkan bahwa ia merasa kesakitan. Memang, ia adalah orang yang tegar, orang yang takut hanya kepada Allah. Sesegera mungkin Kakek Kaspi menelpon sopir mobil yang biasa membawa kakekku pergi mengadakan pengajian. Kakek Kaspi dan Pamanku Abu Nia pun mebawa kakekku segera ke puskesmas. Kami hanya bisa terdiam di berugak dan merenungi peristiwa itu. Kami masih merenung. Kami tak mau kehilangan kakekku.
Hari itu puskesmas tempat dirawatnya kakekku itu amat ramai. Kami yang datang menjenguk hampir-hampir tak bisa lewat. Seluruh keluargaku rupanya telah berada disana. Begitu juga dengan para jema’ahnya di pengajian. Karena memang kakekku memiliki puluhan, bahkan ratusan jema’ah pengajian. Orang-orang di sekeliling kami pun merasa penasaran dan keheranan. Sepintas aku mendengar ucapan mereka “ada apa ya? siapa yang sakit?”. kata-kata itu terus menjadi buah bibir orang-orang disana.
Bagaimana dengan Zul? Ia masih belum terlihat. Sepertinya ia sedang merenung ingin menyendiri. Rupanya ia takut. Bukan takut karena akan dimarahi seluruh keluargaku, bukan juga karena takut akan perampok yang wajah mereka selalu terbayang itu. Namun ia takut karena tak akan mampu lagi menjadi pahlawan bagi Guru tercintanya itu.
Paozan dan Zainuddin, mereka pulang. Mereka pulang bersama dengan mebawa kesedihan mereka. Mereka juga trauma akan hal itu. Sedangkan Zul tidak pulang. Di benaknya selalu terbayang wajah-wajah perampok itu. Bahkan, Zul yang malang itu sampai kesurupan malamnya karena ia gemar memikirkan hal itu sehingga dengan mudah jin bisa merasuki tubuhnya.
Hari itu sungguh mengharukan bagi kami. Begitu pula Zul yang secara langsung menyaksikan peristiwa itu. Ia benar-benar menyesal. Rupanya ia tak dapat memaafkan dirinya lagi. Ia telah membiarkan para perampok itu menyakiti kakekku yang ia anggap guru tercintanya itu.
Cerpen Karangan: Zakiyuddin Abd. Azam
0 komentar:
Posting Komentar