Tiga tahun yang lalu, aku pernah menyatakan cinta kepada seseorang. Wanita tentunya. Dia bernama Juli dan dia cantik. Maksudku sangat cantik. Yang aku ingat dia selalu menggunakan bandu berwarna putih. Pernah juga dia menggunakan kerudung berwarna merah muda dan dengan setelan baju yang sama. Dan sekali lagi aku katakan dia sangat cantik. Dan dia menolakku. Maksudku, dia tidak pernah menjawab pertanyaanku.
Tak habis aku memikirkan dia. Maksudku, kenapa pada waktu itu dia tidak menjawab pertanyaanku? tapi dia malah menerima hadiah dariku. Yaitu sebuah bros berwarna merah yang aku berikan tepat di hari ulang tahunnya yang padahal itu bukan hari ulang tahunnya. Tapi tetap saja dia menerimanya. Sungguh itu membuatku bingung pada dirinya. Dan hari ini aku kembali hadir di kehidupannya.
“Julianty!” Ibu berteriak.
“Iya, Ibu.” Juli menjawab dengan malas.
“Coba lihat ke depan. Lihat siapa yang datang.”
“Baik, Bu.” Ia pun meningalkan pekerjaan di kamarnya dan berjalan menuju pintu.
“Krek…” Pintu dibuka oleh Juli. Kemudian ia melihat keluar dan tampak tidak ada siapa-siapa.
“Tidak ada orang, Bu. Mungkin Cuma anak-anak yang iseng.” Juli kesal.
“..tok, tok, tok.” Terdengar lagi suara pintu yang diketok.
“Cepat buka pintunya, Juli!” Ibu tampak marah padanya.
“Siapa si ini orang? Iseng banget. Pagi-pagi sudah bikin masalah.” Juli menggerutu.
“Krek…” Juli membuka lagi pintu yang sudah sempat ia kunci tadi. Tiba-tiba..
“Aaaa…” Juli berteriak sangat keras. Namun tak terdengar oleh ibunya. Dia dibekap oleh seorang pria dan dimasukkan ke dalam sebuah mobil jenis van. Dan ia terjatuh pingsan karena efek obat yang dibekapkan padanya.
“Juli, Julianty.” Ibu berteriak. Lalu dia melihat ke kamar, ternyata Juli tidak ada. Kemudian di depan juga tidak ada. “Dasar anak nakal. Disuruh membukakan pintu, malah kabur keluar. Awas nanti kalau dia pulang.” Ibu tidak menyadari, bahwa anaknya Juli telah diculik. Dan justru malah kesal padanya.
Sementara Juli tertidur dalam sebuah mobil yang dibawa oleh seorang pria. Ibunya terus saja menggerutu soal masalah tadi. Di perjalanan Juli terbangun dari pingsannya. Awalnya ia bingung, “Di mana aku dan aneh sekali perasaaan ini.” Juli berkata dalam hatinya. Pada akhirnya dia sadar, bahwa ia sedang dalam sebuah perjalanan dalam sebuah mobil dan menuju suatu tempat. Namun ia tak mengerti, kenapa dia ada dalam mobil dan mau dibawa ke mana dia. Melihat gadis yang dibawanya telah bangun, sang sopir menyapa.
“Mimpi indah tuan puteri?”
“Siapa kau? Dan, mau dibawa ke mana aku?” Jawab Juli kaget dan bingung.
“Saya hanya pelayan. Tuan puterilah majikannya.”
“Maksud anda?” Juli menurunkan nada bicaranya.
“Seng…” Tak lama mobil yang ditumpangi Juli pun berhenti dengan lembut. Seorang pria membuka pintu dari balik pintu belakang mobil itu. Krek, pintu terbuka..
“Selamat datang tuan puteri.” Sapa lelaki yang membukakan pintu ramah.
Juli tersenyum. Namun dalam hatinya, ia bingung. “Kenapa orang-orang di sini begitu ramah dan memanggilku dengan sebutan tuan puteri?” Lalu Juli turun dari mobil. Saat ia menginjakkan kakinya di tanah, ia pun merasakan nuansa dan perasaan yang begitu tenang. Sejenak ia menahan napas, lalu kemudian mengeluarkannya dengan perasaan lega. Tanah yang ia injak adalah hamparan rumput halus yang di atasnya di taruh karpet merah yang mengarah ke sesuatu yang berada tepat di ujung sana. Sejauh mata ia memandang, hanya hamparan bunga yang penuh dengan warna. Semilir angin menyerbukkan aroma yang sedap dan masuk ke dalam rongga. Sehingga membuat ia merasa tenang dan nyaman.
Ia berjalan bersama seorang pria yang terlihat seperti pelayan restoran mewah. Terlihat dari setelan yang pria itu kenakan. Yaitu kemeja putih, celana hitam dan dasi kupu-kupu yang lucu. Dan banyak sekali pria serta wanita dengan setelan yang sama pula. Setiap aku melewati mereka, mereka selalu tersenyum ramah padaku dan menyapa “Selamat pagi tuan puteri.” Hal itu membuatku merasa tenang sekaligus aneh.
Saat dia berjalan, ia memperhatikan sesuatu di ujung sana. Dia melihat tepat di ujung karpet merah itu, ada sebuah tenda kecil yang terlihat teduh dengan ditaruh satu meja dan dua kursi dan juga satu botol minuman jenis sampanye dan dua buah gelas. Seolah tempat itu telah disiapkan untuk ia dan seseorang. Kemudian sampailah Juli di tenda yang ia lihat tadi. Ia disambut oleh satu pelayan. Lagi-lagi ia disapa dengan sapaan tuan puteri.
“Selamat datang tuan puteri.” Sapa pelayan itu dengan lembut. Juli hanya menganggukkan kepala.
“Silahkan duduk.” Juli pun duduk di kursi yang telah dipersiapkan oleh pelayan itu.
“Minum, tuan puteri?” Pelayan itu menawarkan minuman pada Juli.
“Iya, boleh.” Ia menjawab dengan semangat.
“Pluk…” Botol minuman itu dibuka lalu dituangkan ke dalam gelas yang telah disediakan tadi.
“Silahkan diminum tuan puteri.” Karena merasa aneh dengan minumannya, Juli terlebih dahulu menghirup aroma dari minuman tersebut. Lalu ..
“Apakah minuman ini bisa membuatku mabuk?” Tanya Juli penasaran.
“Satu tegukkan tidak akan membuat tuan puteri mabuk.” Akhirnya ia meneguk minuman itu dan mencoba menikmati suasana yang tampak di hadapannya.
“Bos, semua sudah beres.” Terdengar pelayan tadi sedang berbicara dengan seseorang melalui ponselnya.
Tak lama munculah seorang pria dari arah yang berlawanan dengan Juli. Sambil bersiul pria itu berjalan ke arah Juli dan duduk di kursi yang berhadapan dengan Juli.
“Evan?” Tanya Juli kaget.
“Hei, Juli.” Evan pura-pura tidak tahu.
“Apa yang kau lakukan di sini? Aku pikir ini tempat pribadi.”
“Ini memang tempat pribadi.”
“Tapi, apa yang kau lakukan di sini? Maksudku, kenapa kau bisa masuk ke sini?” Juli semakin heran.
Tak lama Evan menjentikkan jari tangannya dan memanggil pelayan seolah seperti kode. Juli hanya diam karena tak mengerti.
“Apa artinya itu?”
“Bukan apa-apa. Ini hanya kebiasaan kita di sini”
“Kita?”
“Ya. Maksudku aku dan mereka.” Para pelayan berdatangan dengan membawa makanan yang sepertinya terlihat mewah dan menggoda selera. Setelah semua hidangan ditaruh di atas meja, para pelayan mempersilahkan untuk disantap.
“Silahkan, bos dan tuan puteri. Selamat menikmati.”
“Terima kasih. Kalian boleh pergi.” Sementara Juli tetap saja bingung dengan semua hal yang sedang dihadapinya.
“Apa ini? Kenapa mereka memanggilku tuan puteri dan memanggilmu, bos. Dan hidangan ini, maksudku semuanya. Aku tidak mengerti.”
“Sambil menunggu kau mengerti, lebih baik kita nikmati hidangan ini.” Evan tersenyum. Akhirnya mereka berdua menikmati dan menyantap hidangan tersebut. Evan terlihat sangat bersemangat. Sementara Juli makan secara perlahan. Bukan karena hidangannya, hanya saja banyak sekali pertanyaan yang mengganjal di kepalanya. Sehingga membuat ia bingung. Tak lama mereka telah menghabiskan hidangan yang ada. Evan meleguk air perasan jeruk lemon yang tampak segar dengan tiga bongkah es.
“Aaaaaaaah..” Evan menguap karena kekenyangan.
“Apa kau merasa bosan di sini?” Evan menggoda.
“Ya. Lumayan bosan.”
“Keberatan jika aku mengajakmu mengelilingi taman yang luas ini?”
“Tidak sama sekali.” Lalu Evan meneguk satu tegukan terakhir di gelas.
“Ayo ikuti aku.” Seru Evan semangat. Juli mengikuti ke mana langkah Evan menuju. Sementara Juli mengikutinya dari belakang. Hingga sampailah mereka berdua di sebuah pohon yang besar dan rindang. Pohon itu berada tepat di dekat tebing yang dangkal, membuat hembusan angin terasa begitu nyaman masuk ke rongga.
“Lihatlah hamparan bunga di bawah sana. Hirup angin yang berhembus ini.” Kemudian Evan mencoba memegang telapak tangan Juli, mereka pun saling berhadapan. Juli diam saja, seolah terhipnotis. Angin berhembus, Juli memejamkan matanya menghirup udara yang begitu damai.
Tiga tahun lalu. Saat itu Evan dan Juli masih kuliah. Mereka kuliah di universitas, fakultas dan jurusan serta kelas yang sama. Evan duduk di anak tangga paling bawah tepat di sebelah ruangan kelas lain. Dia sedang membaca sesuatu yang ia genggam sejak dari rumah. Serius dia membaca sesuatu itu. Banyak sekali mahasiswa dan mahasiswi yang lalu lalang di hadapannya. Sesekali ada yang menyapanya. Namun ia tak peduli dan cuek saja dan tetap fokus terhadap apa yang dibacanya. Selain itu, dia sedang menunggu seseorang.
“Plek, plek, plek…” Terdengar langkah kaki yang memakai selop dan tampak tidak asing baginya. Kemudian dia memalingkan matanya yang sedang serius membaca kepada seseorang yang berjalan melewati dia. Dan gadis itu terus naik ke atas tangga. Dan ternyata gadis itu adalah Juli.
“Juli!” Sapa Evan sambil mengejarnya dari belakang.
“Apa?”
“Cepet banget si jalannya. Aku jadi engos-engosan ngejar kamu.”
“Terus?” Juli menjawab dengan cuek.
“Jangan marah, dong.” Evan memohon.
“Ih…”
“Senyum dong, Juli.” Evan menggoda.
“Apaan sih?” Juli menjawab. Sambil berjalan Evan bertanya.
“Juli. Besok ada acara, nggak?”
“Memang besok ada apa?” Sahut Juli.
“Besok kan hari sabtu. Terus malamnya, malam minggu. Gimana?”
“Gimana apanya?
“Bisa nggak jalan?”
“Tergantung waktunya.” Juli memberi pilihan seolah memberi harapan pada Evan.
“Kamu bisanya kapan?” Evan tampak bersemangat.
“Kalau sore aku nggak bisa.”
“Berarti malamnya bisa, dong.” Evan menanti jawaban Juli dengan cemas.
“Kayaknya malam juga nggak bisa, van.”
“Yah…” Evan lemas mendengarnya.
“Maaf ya, Van?”
“Iya, Jul. Nggak apa-apa.” Evan menggerutu dalam hatinya, “Sial si Juli. Setiap gue ajak jalan, pasti nggak mau. Alesan inilah, itulah. Haduh.” Kemudian mereka berdua masuk ke dalam kelas.
Hari yang lain di perpustakaan. Mereka berdua sedang sibuk mencari buku untuk tugas makalah mereka. Karena kebetulan mereka berdua ditugaskan dalam satu kelompok. Saat Evan mengambil satu buku, terlihat wajah Juli dari sela-sela rak buku yang terbuka. Mereka saling memandang. “Hei…” Evan menggoda.
Sementara Juli tampak cuek dan terus mencari buku yang ia cari. Mereka telah mendapatkan buku mereka masing-masing. Juli mengambil banyak sekali buku. Sementara Evan hanya mengambil dua buah buku saja, karena sibuk mengoda Juli. Mereka duduk berdekatan di bangku panjang yang sama dan menaruh buku-bukunya di meja. Juli serius sekali membaca buku. Sementara Evan terus saja memandangi wajah Juli yang manis dan memakai bandu berwarna putih di kepalanya.
“Seriuslah, Van.” Juli geram dengan Evan yang terus saja memandanginya.
“Aku memang serius.”
“Serius apanya?” Juli sedkit mengarahkan pandangan matanya kepada Evan dan kembali fokus membaca buku.
“Hehe…” Evan tersenyum.
Dia malah semakin mendekatkan tubuhnya pada Juli. Juli terus saja membaca buku sambil sesekali memperhatikan gerak-gerik Evan. Tak terduga oleh Juli, Evan meraih tangan Juli dengan tangan kirinya. Suasana yang tadinya penuh dengan kegaduhan yang terdengar dari luar perpusatakaan, tiba-tiba berubah menjadi sunyi seiring dengan suasana di dalam perpustakan yang sepi. Sementara tangan yang lainnya mencoba mengambil buku dari genggamannya. Akhirnya Evan meraih kedua tangan Juli dan mereka saling menggengam. Sontak Juli kaget. Dalam hatinya ia hanya bisa bicara, “Apa yang akan dia lakukan padaku?” Perlahan Evan meremas jari-jemari Juli dengan lembut.
“Juli?”
Evan mengawali percakapan dengan serius. Juli terpana dan hanya menjawab dengan raut wajah yang memerah. Tampak keringat yang ke luar dari sela-sela rambut yang ia hiasi dengan bandu. “Apa kau mau jadi pacarku?” Juli hanya diam. Selang dengan pertanyan Evan kepada Juli, tiba-tiba terdengar suara yang memanggil Evan.
“Bos!” Suara pelayan memanggil Evan. Mendengar pelayan itu, Keduanya pun membuka mata mereka dan melepaskan kedua tangannya yang saling menggenggam dan kembali pada situasi terakhir mereka. Yaitu di sebuah taman.
“Bos! Situasi sudah tidak aman.”
“Maksudmu?”
“Iya. Di luar polisi sudah mengepung kita.”
Tiba-tiba terdengar dari arah gerbang suara yang menggunakan pengeras suara. “Saudara Evan. Sebaiknya anda menyerah. Kami tahu anda berada di dalam bersama seorang perempuan bernama Juli, gadis yang anda culik pagi tadi. Kami diberi tahu saksi. Bahwa anda beserta anak buah anda, membekap dan memasukkan seorang gadis ke dalam mobil dan membawanya ke dalam sana.” Sementara Ibu Juli berteriak histeris di luar sana mengetahui anaknya ternyata diculik.
“Juli. Kau tidak apa-apa, Nak?!” Ibu berteriak.
“Aku tidak apa-apa, Bu.” Juli berteriak dengan keras.
“Saudara Evan. Bagaimana? Apa anda ingin menyerahkan diri secara jantan, atau kami tangkap dengan paksa?”
“Baik. Saya mengakui, saya memang menculik dia. Dan saya akan menyerahkan diri saya. Tapi beri saya waktu, oke?”
“Baik. Kami beri waktu lima menit.”
Juli hanya mengernyitkan dahinya karena tak mengerti. Dan di lima menit yang semakin menyempit, Evan kembali menanyakan hal yang sama kepada Juli tentang tiga tahun yang lalu.
“Sekitar tiga tahun lalu di perpustakaan, apa kau masih mengingatnya? Aku yakin kau masih mengingatnya..” Juli hanya menatap rumput yang ia injak sendiri dengan kakinya.
“Aku sayang padamu. Aku peduli semua tentang dirimu. Dan…” Evan terbata-bata. “Dan aku mencintaimu. Aku mencintaimu, Juli. Sadarkah kau akan hal itu?”
“Aku tahu. Lalu?” Akhirnya Juli membalas. Namun tatapan matanya memandang ke arah yang lain.
“Aku menunggumu.” Evan kesal. “Semenjak kau pergi tanpa memberi kabar. Kau pindah rumah dan kampus, aku tidak tahu kau di mana. Aku mencintaimu dan aku menunggumu.” Evan mengulangi kata-kata itu.
Juli diam tak berkomentar apa pun.
“Tatap mataku dan jawab pertanyaanku?” Seru Evan dengan nada yang mengancam.
“Lima menit telah berakhir. Jika kau tidak menyerahkan diri, kami kan menangkap anda secara paksa.”
“Sial.” Evan kesal. “Apa tidak ada waktu tambahan?”
“Apa kau bercanda? Ini bukan pertandingan sepak bola.”
“Semuanya, masuk. Kita tangkap dia.” Akhirnya para polisi masuk ke dalam taman. Satu persatu pelayan di sana diringkus dan diborgol dan tidak ada satu pun yang melawan. Hingga akhirnya Evan pun ditangkap dan diborgol. Dengan posisi setengah berdiri Evan meminta izin kepada polisi yang mendampinginya.
“Pak. Sebelum saya dibawa ke kantor, boleh saya menyelesaikan urusan yang belum saya selesaikan di sini?”
“Silahkan Nak, Evan. Ini memang urusan anak muda, saya tidak bisa ikut-ikutan. Apa perlu borgolnya saya buka?”
“Tidak usah, Pak. Terima kasih.”
“Juli!” Evan berteriak memanggil Juli yang sedang berjalan dengan polisi lain. Juli terhenti langkahnya mendengar Evan berteriak memanggil namanya.
“Juli aku hanya ingin mendengar satu kata saja darimu. Ya atau tidak aku tidak peduli. Apa kau mencintaiku?” Mendengar pertanyaan Evan, Juli terdiam sesaat. Lalu kemudian kembali melangkahkan kakinya. Namun Evan melihat dari wajah Juli senyum yang begitu manis dan renyah ditambah dengan hembusan angin yang membuat rambutnya terurai anggun. Dan bagi Evan itu sangat berarti dan memiliki makna sesuatu yang tak mesti diungkapkan dengan kata-kata.
“Aku tahu wajah itu, Juli. Aku tahu senyum itu.” Evan berteriak. “Dan aku tahu kau memang mencintaiku. Kau hanya gengsi untuk mengakuinya.” Evan menangis, mengeluarkan air mata bahagia. Dia terbawa suasana dan tak bisa menahan perasaan bahagia yang menyelimuti dirinya.
“Kau lihat itu, Pak?” Evan bertanya kepada pak polisi.
“Ya. Aku melihatnya, Nak.”
“Dia tersenyum padaku.”
“Ya. Dia tersenyum padamu. Selamat, Nak. Sekarang kau ikut dengan kami ke kantor polisi, Nak.”
“Dengan senang hati, Pak”
Singkat cerita, Evan diadili dengan sebuah hukuman yang sangat unik dan menurutku itu sangat menguntungkan untuk Evan. Selain menjadi tahanan rumah, dalam hukuman tersebut dia harus membeli seikat mawar di toko yang sama setiap hari selama enam bulan. Dan diantarkannya kepada orang yang sama pula. Dan itu harus diantarkan tepat waktu. Yaitu pukul 07.00 setiap harinya. Dan jika terlambat satu menit saja, maka dia harus membeli 10 tangkai bunga lagi dan ditambah satu hari masa tahanan rumahnya. Tapi Evan justru sengaja membuat kesalahan dengan memperlambat dirinya ketika mengantarkan bunga tersebut agar hukumannya terus ditambah. Karena seseorang yang harus diberi bunga mawar setiap pagi tersebut adalah Juli.
Hingga pada akhirnya Evan melamar Juli dengan didampingi oleh para polisi yang menangkap dirinya. Juli menerima lamaran Evan lalu mereka menikah. Setelah itu entah apa yang terjadi kepada mereka berdua. Semoga saja bahagia. Lalu bagaimana dengan pelayan-pelayan Evan yang setia? Ke mana mereka? Mereka pulang ke daerah asalnya masing-masing. Sebagian ada yang menjadi petani, peternak, dan membajak sawah. Dan satu orang pelayan menulis kisah cinta Evan dan Juli. Akhirnya mereka hidup bahagia selama-lamanya.
TAMAT
Cerpen Karangan: Anharudini
0 komentar:
Posting Komentar