Translate

CERPEN KUNTOWOJO

Written By iqbal_editing on Rabu, 05 April 2017 | 07.38

Kalau ada SH Mintardja dalam cerita fiksi seperti Nasasra dan Sabukinten-nya, maka ada Kuntowojoyo yang sakti dalam menulis Cerita Pendek dan Cerita Bersambung.Salah satu karya Kuntowojoyo adalah “Mantera Penaklur Ular” yang saya simpan di homepage pribadi. Kisah seseorang yang secara mendadak dapat ilmu menguasai ular, tapi karena hidup di jagad yang menganggap ular adalah binatang berbahaya, atau lebih ekstrim lagi “dendam” keturunan gara-gara ular, Adam Hawa terusir ke dunia.
Keahlian Profesor ahli sufi ini dalam menulis memang sering menyentuh “other dimensi”, mungkin lantaran itu saya menyukainya.
Ide cerita berputar dari perumnas, atau rumah susun yang heboh akan dibuat di Jakarta sebagai antisipasi kalau nanti banjir di Jakarta tingginya sudah melebihi BangJo (trafik light).
Lalu nama jalan rumah susun dikaitkan denganpengamatan penulis William Shakespeare yang memandang objek “nama” is nothing, padahal kalau sempet hidup lagi dan melihat sebuah tanah jajahan IMF, dia lihat nama adalah segalanya. Ada orang nama Sainan [nama aseli diganti] ketika diubah jadi Nasution [bukan nama sebenarnya], jadilah Konglomerat. Ira Koesno saja nggak bakalan jadi penyiar berlidah tajam dan presenter kondang kalau masih pakai nama aselinya.
Minggu, 28 April 2002

Jl Kembang Setaman, Jl Kembang Boreh Jl Kembang Desa, Jl Kembang Api
oleh Kuntowijoyo
AKAN saya ceritakan kasus rumah bertingkat di Perumnas kami supaya Anda dapat mensyukuri nikmat Tuhan. Bagi orang gedongan katakan, “Alhamdulillah, saya tidak tinggal di Perumnas.”
Bagi orang yang masih menyewa, “Alhamdulillah, jelek-jelek saya tidak tinggal di Perumnas.” Bagi penghuni Perumnas yang lain, “Alhamdulillah, saya tidak tinggal di situ.”
Bagi para tetangga rumah bertingkat, “Alhamdulillah, semoga saya termasuk orang-orang yang beriman.”
Begitulah, kami tinggal berderet-deret di Perumnas di Jalan Kembang Setaman (bunga warna-warni dalam jambangan). Kami sangat senang mendapat rumah. Daripada menyewa berpindah-pindah, kami dapat hidup tenang dengan rumah tetap. Meskipun, rumah kami sederhana saja. Rumah dan tanah berukuran 36/80. Pada mulanya berdinding kayu lapis, usuk kayu Kalimantan, dan atap asbes gelombang.
Jalan di depan kami juga hanya cukup untuk kendaraan roda dua. Tetapi, kami tidak suka apabila teman seperumnas bergurau, “kami tinggal di peternakan manusia”, “kami tinggal di kaleng sarden”, atau “kami tinggal di kandang ayam”. Saya sendiri selalu membanggakan Perumnas kami dengan menyebutnya sebagai “kota satelit terbesar di pinggir Ring Road Utara”.
Sesudah dua puluh lima tahun ternyata bahwa nasib orang tidak sama.
Tetangga sebelah rumah yang anaknya jadi dosen, lalu sekolah teknik pengairan di Negeri Belanda, kemudian kerja di Bappenas sambil menjadi konsultan di beberapa perusahaan reklamasi laut dan pemborong, sangat kaya. Rumahnya ditingkat, dinding bata dan semen sungguhan, lantai keramik, relief kamar tamu bergambar Arjuna naik kereta dengan kusir Krisna, genteng tanah nomor satu dari Gombong, dan pagar merah dari batu laut.
Tentu saja jalanan di depannya tak dapat diubah. Hanya soal listrik tetangga itu sangat pelit, di malam hari kamar-kamar dimatikan, tinggal satu lampu 10 Watt, melik-melik di kamar utama. Itu pun karena istri serasa dicekik jika dalam kegelapan. Kata anaknya, begitulah gaya hidup orang Belanda, tidak suka membuang-buang uang.
Tetangga sekitar, termasuk kami, memang banyak yang bisa membangun-bangun, tetapi tidak bertingkat seperti tetangga dekat kami itu. Lebih dari itu, mereka juga hemat waktu. Artinya, tidak lagi suka bergaul dengan tetangga. Tertutuplah. Suami tidak rapat RT, istri tidak arisan.
SETELAH dua tahunan, rumah bertingkat itu membuat masalah. Tingkat atas bagian belakang yang terbuka adalah tempat khusus untuk kandang-kandang anjing. Kata mereka, menurut pembantu, itu adalah kemauan anaknya. Ada delapn ekor anjing kecil yang lucu-lucu dengan bulu yang sangat tebal.
Anjing-anjing itu sebenarnya sama sekali tidak membuat gaduh, sebab suaranya hanya kik-kik-kik lirih. Anaknya bilang bahwa salah satu tanda kemakmuran adalah terdapatnya anjing di rumah. Orang Belanda setidaknya punya satu ekor anjing. Kita sebagai bangsa yang besar harus punya lebih dari seekor, kata anaknya menurut pembantu.
Mula-mula perkara anjing itu memang tidak jadi soal. Adalah HAM untuk memelihara anjing atau tidak. Lagi pula semula tidak ada keluhan sama sekali. Namun, lama-lama keluhan datang juga. Keluhan itu justru datang dari tetangga dekatnya yang lain yang notabene tidak menabukan anjing. “Bulunya itu, lho. Bikin kulit gatal-gatal,” kata istri dalam arisan ibu-ibu. Tetapi tidak ada protes, tidak ada teguran. Seperti diketahui, kami adalah orang Jawa yang suka kerukunan. Walhasil, tetangga suami-istri itu hanya gedumal-gedumel, omong kesana-kemari, dan rasanan. Usul untuk dilaporkan ke RT juga tidak mereka setujui.
“Kita harus hidup rukun, ‘protes, demonstrasi, dan menuntut’ itu bahasa politik, bukan bahasa pergaulan. Orang hidup itu harus tenggang rasa, rasa-rumangsa, tanggap sasmita,” jelas suami. Ketika anaknya yang nomor dua kena batuk ah-uh sepanjang hari dan tidak kunjung sembuh baru tetangga yang baik itu memikirkan sindiran yang halus, seperti ‘wah anjingnya suka menggaruk-garuk bulu, ya’. Sindiran yang agak tegas, seperti ‘pelihara anjing boleh, tapi mbok yaa ingat tetangga’. Atau yang lebih thok-leh, seperti ‘anjing-anjing itu suruh berhenti menyebarkan bulu’. Semuanya lewat pembantu, tentu, yang entah sampai entah tidak pada yang empunya anjing.
Anaknya terpaksa dibawa ke dokter. Dokter menanyakan, “Ada kucing di rumah?”
“Tidak.”
“Ada anjing?”
“Tidak.”
“Apa dia suka main dengan binatang berbulu itu?”
“Tidak.”
Lalu dilakukan tes suntik. Ketahuanlah kalau anak itu memang alergi bulu. Disuruh dia mengingat-ingat. Ujungnya, keluar juga jujurnya.
“Ya. Memang ada tetangga yang-pelihara anjing, dan bulunya suka beterbangan,” katanya.
“Itulah, itulah.” Dokter memberi resep sambil bilang bahwa yang terpenting ialah menghilangkan penyebabnya.
Singkatnya, di luar prinsipnya, ia mengadukan perihal anjing ke Ketua RT. Namun, ada perkembangan baru. Belum sempat Ketua RT bertindak, tetangga yang punya anjing itu memutuskan untuk membuang anjing-anjingnya. Ia memberi-berikan anjing pada kawan-kawannya.
Mereka mau naik haji. Ha? Benar! Menurut mereka, tidak ada seorang haji pun yang memelihara anjing. Maka kami senang. Mereka berangkat naik haji bersama anaknya dengan ONH Plus. Sebelum berangkat mereka menyelenggarakan open house.
“Maafkan kesalahan kami, ya Bapak-Ibu. Kami tahu banyak salah,” kata suami mewakili keluarga.
“Ya, nol-nol,” balas Ketua RT.
Pada kesempatan itu banyak yang minta didoakan ini-itu. Istri saya minta didoakan punya cucu lagi. Suami mencatat semua pesanan doa pada selembar kertas.
“Semoga jadi haji mabrur, semoga…,” kami berdoa.
“Amin. Amin.”
“Semoga dapat hidayah.”
“Amin.”
Kami mengantar mereka ke airport karena mereka terdaftar di Jakarta.
Kami saling berpelukan. Ibu-ibu sesenggrukan waktu istri sekali lagi minta maaf.
Setelah sampai rumah, saya bilang pada istri, “Paling-paling mereka melambai-lambaikan kertas di depan Ka’bah, ‘Ini, Tuhan! Baca sendiri’. Mereka tidak akan punya waktu untuk tetangga, seperti waktu di rumah.”
“Jangan begitu. Siapa tahu mereka lebih diridhai.”
CERITA ini yang lebih penting, karena praktis melibatkan seluruh RT. Rumah bertingkat itu memulai babak barunya. Ditinggal haji, rumah itu gelap. Rapat RT memutuskan, supaya dari rumah kami dialirkan listrik 10 Watt. Namun, sepulang haji, mereka tidak kembali ke Perumnas.
Logikanya begini. Untuk apa tinggal di Perumnas, kalau engkau mampu hidup di tempat lain? Privacy akan lebih terjamin kalau engkau tinggal di tempat mewah. Maka rumah bertingkat itu pun diiklankan sesuai dengan ‘martabatnya’. Diulang. Diulang.
Harganya diturunkan.Diturunkan. Tidak juga laku. Rupanya orang kecewa setelah melihat kondisi jalan di depan rumah itu. Mesti orang berpikir, membeli rumah dengan harga mahal itu boleh tapi jangan di Perumnas. Maka, selama belum laku rumah itu dibiarkan kosong-song.
Ketika rumah kosong itulah masalahnya mulai. Dalam rapat RT para petugas Siskamling mengatakan bahwa mereka mendengar anak-anak bermain dalam rumah itu. Mula-mula mereka heran, kenapa anak-anak belum juga tidur-padahal hampir tengah malam? Ketika mereka menyadari bahwa anak-anak itu pasti jin yang jadwal mainnya berbeda dengan manusia, bulu kuduk mereka berdiri, dan lari tunggang-langgang.
Siskamling yang biasanya berkeliling untuk mengambil beras jimpitan setelah pukul 23.00, mengubah jadwalnya menjadi pukul 21.00 sebab mereka ketakutan. Sedini itu anak-anak jin dalam rumah kosong diperkirakan belum mulai bermain. Ketika mereka juga masih mendengar anak-anak bermain, lalu Siskamling diajukan pukul 19.00. Kemudian rapat RT memutuskan untuk meniadakannya sampai waktu yang belum ditentukan.
Bagi mereka yang tidak punya anak kecil, cerita tentang anak-anak bermain tidak mengganggu. Lain dengan kami. Anak kami menitipkan anaknya. Ia teriak-teriak ketakutan setiap malam. Sambil menunjuk-nunjuk dikatakannya bahwa ada anak-anak menempel di tembok.
Untung kami punya teman yang dapat mengusir jin. Kawan itu datang dan memagari rumah kami. Disarankannya supaya sebelum tidur kami membaca-baca Al-Ikhlaash, Al-Falaq, dan An-Naas. Dikatakannya bahwa ada sekeluarga jin tinggal di rumah bertingkat itu.
Ketika kami memintanya untuk mengusir keluarga jin itu dia menolak. Alasannya, adalah hak mereka untuk tinggal di rumah kosong. Meskipun demikian, rumah kami jadi aman dari gangguan mereka.
Ternyata apa yang kami kerjakan juga dikerjakan para tetangga dengan cara mereka sendiri-sendiri, “Mosok manusia kalah sama jin!” kata mereka. Seorang tetangga pergi kepada orang pintar. Orang pintar itu menyarankan supaya manusia terhindar dari gangguan jin, jin harus disenang-senangkan dengan membakar kemenyan dan memberi bunga setiap malem Jum’at.
Tetangga yang lain belajar ilmu tenaga dalam dan pernapasan. Dengan ilmu itu jin akan merasa seperti terbakar. Tetangga yang lain lagi menyiapkan keris keramat yang dhemit ora ndulit, setan ora doyan, digantung di temboknya. Dan, tiba-tiba muncullah
bakat-bakat terpendam di RT. Mereka yang punya sensitivitas memantau pergerakan jin di rumah bertingkat itu.
Dalam rapat bulanan RT diputuskan bahwa Ketua RT ditugaskan untuk mencari orang pintar yang mampu mengusir jin. Orang pintar itu datang. “Lho, kok keluarga besar. Ada kakek dan nenek dari ibu dan bapak, ada pakde dan bude dari ibu dan bapak, ada paklik dan bulik dari ibu dan bapak, ada adik-adik dari kedua belah pihak.”
Setelah ck-ck dia membuat saran.
“Nama jalan jangan Kembang Setaman. Bunga Setaman itu makanan jin. Jadi, mereka berkumpul di sini karena mengira di sini banyak makanan. Nama jalan itu terserah, asal jangan menyarankan makanan jin.”
Maka RT mengadakan rapat.
“Bagaimana kalau nama itu dibalik? Pasar Kembang, misalnya.” Pasar Kembang adalah nama tempat.
“Onde-onde kembang?”
“Bagaimana kalau Kembang Brayan?” Artinya, warna-warni bunga sejenis (artikel, karangan, kumpulan cerita).
“Bagaimana dengan Kembang Boreh?” Artinya, sejenis lulur.
“Kembang Kacang?” Nama lagu keroncong.
Pembahasan untuk memilih berlangsung sederhana, tanpa debat berkepanjangan. Tetapi, dasar orang Jawa, sama-sama segannya untuk berkata tidak. Jalan keluarnya adalah voting tertutup. Itu dianggap yang terbaik, yang tidak menyakitkan hati orang. Setelah dihitung, rapat RT menyetujui Kembang Boreh. Maka kami ramai-ramai menurunkan
papan nama. Mengecatnya dengan nama baru: Jl Kembang Boreh. Tentu saja, itu semua dengan harapan jin-jin itu menghilang.
Keluarga kami juga diharuskan mengganti lampu biasa dengan neon. Tetapi tidak ada perubahan. Jin itu bertambah nekat. Malam hari banyak jin perempuan yang mejeng (pamer, menggaya). Suatu malam ada penjual ronde lewat. Beberapa gadis duduk-duduk di depan rumah bertingkat mengundang penjual. Mereka memborong ronde. Wedang ronde yang panas itu dilahap. Penjual curiga. Setelah diamati ternyata mereka tidak duduk di bangku atau kursi, tapi menggantung di udara. Tukang ronde yang malang itu kontan lari, meninggalkan gerobak dagangan.
Gadis-gadis itu tertawa hiii-hiii-hiii.
Pagi hari sambil mengambil gerobaknya, tukang ronde lapor Ketua RT. RT langsung mengadakan rapat darurat. Ketua RT ditugaskan lagi mencari orang pintar yang cespleng. Maka datanglah orang pintar itu. Setelah memeriksa rumah bertingkat dari jarak jauh ia berkata, “Mereka sudah satu suku.” Sarannya sama dengan orang pintar sebelumnya, mengganti nama jalan. Nama diserahkan pada RT, pakai kembang boleh tapi jangan berarti bunga.
Rapat RT lagi. Ketua RT menyampaikan pesan orang pintar. Kami berpikir keras, kembang yang tidak berarti bunga.
“Kita buang saja kata kembang.”
“Jangan. Di Perumnas kita pakai nama-nama bunga.”
“Nah, bagaimana kalau dikromokan. Sekar Langit?” Sekar Langit adalah nama motif
batik.
“Sekar Sinawur?” Artinya bunga rampai.
“Kembang desa?” Primadona desa.
Prosedur yang dulu dipakai lagi. Terpilih nama Kembang Desa. Keesokan sorenya kami gotong-royong. Kami turunkan papan nama, kita ganti dengan yang baru. Harapan kami sama seperti dulu. Jin-jin tidak betah lagi tinggal di rumah bertingkat. Mereka akan kecelik, sama sekali tidak ada bunga.
Tapi kami keliru. Benar jin tua, gadis, dan anak-anak menghilang, demikian menurut pantauan orang-orang sensitif. Mereka digantikan jin-jin muda karena mengira di gang ini banyak primadonanya. Tidak menemukan seorang gadis pun di gang, jin-jin muda mulai mengembara mencari gadis. Ketua RT dilapori bahwa ada jin yang tinggal di tembok kamar mandi. Itu jin voiyeur. Ada jin suka menghadang gadis-gadis pulang pengajian. Ada jin yang hidung belangnya tidak ketulungan: ia mengganggu nenek-nenek yang pagi sekali membeli gudeg untuk buyutnya. Malu-lah RT kami.
Ketua RT ditugaskan untuk mencari orang pintar yang lebih pandai. Dia dibriefing mengenai keadaan kami yang runyam. Ia pulang bersama orang pintar itu. Setelah melihat papan nama katanya, “Lha, ini biangnya. Jangan Kembang Desa. Jin yang thukmis (suka wanita), yang iseng, dan yang duda akan datang.”
“Lalu enaknya apa, Mbah? Kami sudah kehabisan akal.”
“Pakai kembang, ya. Mmm, bagaimana kalau Kembang Api?”
Kami semua suka-cita atas usulan itu. Api akan membakar mereka. Mereka akan ketakutan dan lari. Pujian-pujian mengalir untuk orang limpad (cerdas) itu. Kata pepatah-petitih itu memang betul: Ada kemauan, ada jalan. Kami pun mengganti papan nama: Jl Kembang Api. Biar jin-jin kepanasan! Biar, mereka kehausan!
Tetapi tidak. Menurut mereka yang sensitif, jin-jin malah berdatangan dari mana-mana. Lho! Iya saja. Jin terbuat dari api. Jadi, mereka merasa kembali ke asal.
Tidak ada jalan lain. Tertutup sudah. Jalan buntu. Lalu ada usulan dari seorang mahasiswa yang mondok di RT kami untuk mencari advokat yang mumpuni: kuat secara fisik, pintar ilmu hukum, pandai ilmu dalam, dan bijaksana. Tugasnya ialah menjadi juru runding mewakili RT. Kami menemukannya juga. Maka, malam hari advokat itu menerobos ke dalam pagar. Seluruh RT menyaksikan adegan itu dari kejauhan. Ia duduk
berdzikir di teras rumah. Kabarnya dia dapat berhubungan dengan dunia gaib. Setelah kami menunggu sekitar dua jam, kami mendapat kabar tentang hasil rundingan. “Inilah hasil maksimalnya,” kata advokat itu.
Satu, mereka hanya boleh tinggal di dalam rumah. Dua, mereka tidak boleh mengganggu orang. Tiga, mereka tidak boleh menampakkan diri dalam rupa apa pun. Kami lega dengan perjanjian yang menguntungkan itu. Tetapi, Jl Kembang Api tetap saja sepi di malam hari. Tidak ada ronde teng-teng, tidak ada sate te-satte, tidak ada bakmi duk-duk sreng.
Dan orang masih dapat mendengar suara keroncong, nyanyi dangdut, suara klenengan, suara air terjun, suara anak-anak bermain, bayi menangis. Semuanya tanpa rupa!
Yogyakarta, 13 April 2002
Advertisements

0 komentar:

Posting Komentar

 
berita unik