Sekelebat kabut yang terbang di tengah gelapnya malam, yang membangkitkan ingatan tentang cerita-cerita yang membuat bulu kuduk berdiri. Entah cerita itu benar-benar nyata atau hanya sebuah kebohongan dan reka-reka rasa takut manusia yang tersebar secara berantai. Sekarang yang kami dapat bukanlah setitik kabut di tengah tusukan cahaya atau sekelebat kabut yang terbang dalam kegelapan, melainkan kabut yang telah membuat orang-orang lupa bahwa pada hakikatnya udara itu tidak berwarna.
Hari ini di aula sebuah kampus, beberapa orang nampak sibuk menyiapkan dan menata tempat itu. Ada yang sedang mengatur mikrofon dan pembesar suara, menggelar karpet, menata kursi dan settingan-settingan lain yang dirasa perlu. Sebentar lagi di tempat itu akan diselenggarakan seminar akhir tahun bertajuk “Bencana Antara Peristiwa Alam Dan Teguran Tuhan” Selayaknya sebuah seminar biasa, beberapa orang yang dirasa berhubungan dengan tema yang diangkat dalam seminar akan diundang untuk berbicara. Tokoh agama, pejabat publik atau siapa saja yang bicaranya akan didengar orang. Turut hadir pula nanti seorang budayawan dan penulis nasional. Para penonton mulai berdatangan, mengisi bangku-bangku kosong yang telah disediakan. Tidak perlu dibuat banyak latar belakang untuk menggambarkan dari mana orang-orang ini datang. Kebanyakan mereka adalah para pelajar dan masyarakat di daerah seminar itu diadakan.
Tidak banyak penonton yang hadir. Kursi-kursi di barisan belakang masih terlihat kosong. Tidak ada pengusaha yang datang menonton, atau perwakilan dari kelompok petani dan nelayan, atau para pegiat usaha kecil dan menengah atau ketua organisasi-organisasi kepemudaan setempat. Mengingat ini bukanlah acara pemberian modal usaha, atau pelatihan teknik-teknik terbaik dalam menghasilkan uang, atau pengenalan relasi-relasi yang luas untuk mencari pengalaman. Karena belakangan manusia memang semakin bersemangat untuk diajak berpikir progresif atau bertindak visioner, namun kesulitan untuk diajak merenungi apa saja yang telah terjadi di belakang.
Teungku Haji Abu, satu-satunya orang di antara para pembicara yang datang dengan sepeda motor. Dia juga satu-satunya orang yang duduk di depan yang datang tidak memakai sepatu dan tidak berdasi. Beliau adalah orang yang sederhana, yang terkenal dalam masyarakat melalui jalur yang berbeda. Bukan dari jalur elit yang elegan nan mewah, melainkan dari penilaian masyarakat bahwa beliau adalah orang yang luas ilmu agamanya yang bisa diteladani sikapnya dan orang -yang setidaknya belum- bisa dipaksa oleh zaman untuk berbaur ke dalam jalan yang sedikit banyak telah terkontaminasi oleh uang-uang kotor, gaya hidup yang “keartisan” dan “kepejabatan” dan sikap-sikap eksklusif orang-orang elit.
Ia mendapat kesempatan pertama untuk berbicara setelah panitia acara memutar sebuah film pendek tentang bencana yang pernah hadir menyapa kami dalam tahun ini. Mulai dari yang berskala daerah hingga nasional, yang hangat diperbincangkan untuk waktu yang lama hingga yang datang seperti angin lalu dan menguap tidak lama kemudian. “Adik-adikku dan para hadirin sekalian, mungkin sebentar lagi jutaan pasang mata dunia akan mencibir kita semua, menatap kita dengan tatapan yang remeh dan merendahkan. Dan kalian tahu kenapa mereka melakukan itu?” serentak para hadirin menjawab tidak. Karena mereka memang tidak tau.
“Karena mereka menganggap kita orang yang belum maju, komunitas orang-orang terbelakang, yang tidak pandai menikmati hidup. Dan kalian tahu kenapa mereka beranggapan seperti itu?” Lagi-lagi para hadirin menjawab tidak. Sama seperti pertanyaan tadi, karena lagi-lagi mereka memang tidak tahu kenapa. “Karena kita adalah orang-orang yang tidak meniup terompet di malam tahun baru, tidak berjingkat di atas panggung atau menari-nari di taman luas, menghitung mundur saat tengah malam di tengah kerlap-kerlip lampu raksasa lalu berteriak kegirangan seperti anak kecil yang sedang bermain hujan dan besoknya mereka sakit.”
Salah satu peserta seminar menyela dengan berkata. “Mungkin andai sekarang turun hujan, kita pun akan berteriak kegirangan.” Disambut gelak tawa beberapa peserta yang lain.
“Mari kita sama-sama bersikap lebih bijak dalam segala hal. Memangnya dengan melakukan euforia semacam itu bisa membuat langkah kita di tahun yang akan datang bisa menjadi lebih baik? Atau bisa tidak semua itu menghapus kesalahan-kesalahan di masa lalu, tentu tidak.”
“Mari kita sama-sama bersikap lebih bijak dalam segala hal. Memangnya dengan melakukan euforia semacam itu bisa membuat langkah kita di tahun yang akan datang bisa menjadi lebih baik? Atau bisa tidak semua itu menghapus kesalahan-kesalahan di masa lalu, tentu tidak.”
“Nah, begitu pula dengan bencana yang menimpa kita belakangan ini, letusan gunung api di beberapa tempat yang membuat saudara-saudara kita hidup begitu menderita. Peristiwa semacam itu mungkin murni gejala alam, yang merupakan ujian dan bukti betapa lemahnya kita di hadapan Tuhan. Namun bala kabut yang mengepung kita belakangan ini adalah kasus yang agak berbeda, di samping karena menyebarnya titik-titik api ada kesan campur tangan kesengajaan manusia di sana. Ada yang membakar hutan secara sengaja karena tujuan-tujuan tertentu, ada pula kesan lambannya penanganan pemerintah terhadap masalah ini. Tapi lagi-lagi kita menyikapi secara salah. Kita terus saja menyalahkan orang lain. Kita selalu saja berbicara dan berteriak dengan ucapan-ucapan kosong. Dan kemudian pergi dengan perasaan bak seorang malaikat. Padahal nyatanya kita belum melakukan apa-apa.”
“Satu hal yang juga terasa aneh adalah bagaimana kabut ini bahkan membuat panas hubungan antar negara. Lihat saja betapa mudahnya dengan sebab kabut yang mengepung ini kita rela mencampakkan semua kerjasama dan hubungan timbal balik yang telah terbangun. Pulang nanti mungkin kita dengan rok*k yang menyala di sela-sela jari tangan akan membangun diskusi warung kopi dan membuat analisa-analisa sesat terhadap ini semua. Dan lupa bahwa dengan asap rok*k tadi kita telah lebih dulu mengganggu dan meracuni banyak orang.” Teungku Abu pun menyudahi pembicaraannya itu.
Orang kedua yang berbicara adalah Pak Tian, seorang pengusaha. Pihak panitia punya alasan khusus kenapa Pak Tian yang diundang dalam acara ini. Bukan karena ia telah mengumpulkan kekayaan yang banyak, melainkan karena jasanya dalam masyarakat lewat beberapa lembaga dan kegiatan yang didanainya. Pak Tian juga dirasa lebih istimewa karena tidak mamasang namanya di lembaga atau kegiatan kemanusiaan yang ia adakan. Tidak ada nama “Tian Foundation” atau “Tian untuk kemanusiaan” atau kegiatan donor darah bersama “Tian health organisation” atau liputan eksklusif makan bersama anak yatim dan kaum dhuafa di kediaman Pak Tian. Bahkan banyak yang tidak tahu mungkin mengenai keaktifan beliau dalam kegiatan bantu-membantu itu. Ia mungkin bisa diibaratkan dengan seorang Bruce wayne dalam balutan kostum kelelawar di film batman atau peter parker dalam trilogi spiderman. Bertindak namun tidak dikenal.
“Tuan-tuan yang terhormat, karena di sini saya berlaku sebagai perwakilan dari kalangan pengusaha, maka bisa dibilang saya juga turut mewakili orang-orang kaya dalam masyarakat. Karena diakui atau tidak jalur pengusahalah yang telah mencetak para miliuner-miliuner kaya di luar sana. Tidak ada orang terkaya yang berasal dari latar pejabat, karena kekayaan yang fantastis tidak bisa didapat dari gaji atau upah. Makanya yang menjadi orang-orang terkaya dunia itu tidak ada yang datang dari kalangan artis atau atlet, pejabat atau pegawai. Tak peduli seberapa besar mereka dibayar. Sebagian besar uang itu beredar ditangan para pengusaha. Benar begitu bukan?” Serentak para hadirin menjawab, “Iya.”
“Saya ingin melanjutkan apa tadi disampaikan oleh teungku haji, mengenai sikap kita di akhir tahun yang dianggap kuno. Sebenarnya andai ditanya bagaimana pola pikir pengusaha dalam hal ini maka justru sikap kitalah yang lebih tepat. Mengapa demikian, karena realitanya, di penghujung tahun, seorang pengusaha tidaklah menghambur-hamburkan uangnya, tapi lebih dulu ia akan mengambil buku catatan perkembangan usahanya dari akuntannya lalu membuat kalkulasi untung rugi usahanya. Jika hasilnya baik maka ia akan bergembira dan jika sebaliknya maka ia harus lebih banyak belajar lagi.”
“Jiwa pengusaha adalah mereka yang ingin memperoleh hasil terbaik, senang tidaknya ia nantinya adalah melihat hasil yang diperolehnya. Jika hal ini diterapkan dalam kehidupan maka adalah sebuah kecerobohan besar merayakan setiap perayaan tahun dengan hura-hura. Terlebih dahulu tentu kita harus melihat pada hasil yang kita capai. Berhasilkah kita menjadi lebih baik atau malah tambah buruk.”
“Melihat fenomena atau lebih tepatnya bencana kabut yang melanda negeri kita ini, ada sedikit aroma-aroma yang menyeruak di baliknya, dan itu bukan aroma hangus dari sesuatu yang terbakar. Aroma itu adalah bau dari tangan-tangan busuk para pengusaha yang hendak memperoleh untung dengan membakar hutan. Dan sakitnya lagi adalah besar kemungkinan tidak akan ada banyak dari mereka yang teradili nanti, karena asal tahu saja. Para pengusaha itu lebih licik daripada para politikus. Jika menjerat tikus-tikus pencuri di kalangan pejabat saja bisa sesulit ini maka percayalah kalau kami ini lebih susah lagi ditangkap, karena kami tidak terlalu dikenal.”
“Ada satu hal yang membedakan para pengusaha, meski sama-sama berorientasi pada hasil dan uang, ada satu hal lagi yang tidak dimiliki sebagian pengusaha. Di samping memerhatikan hasil kita sebenarnya juga dituntut untuk melihat cara. Hasil yang baik yang datang melalui cara yang baik. Hasil yang memuaskan yang diperoleh dengan cara yang bersih dan putih, bahkan harus lebih putih dari kabut-kabut di luar sana. Dan saat cara-cara yang baik itu diabaikan beginilah jadinya, harga-harga barang diatur agar mencekik kalangan bawah lewat tangan-tangan kapitalis yang angkuh dan jahat. Dan kasus yang tidak jauh beda dengan mereka yang meniup kabut yang sedemikian hebatnya ini.”
Orang ketiga yang berbicara adalah yang paling rapi, rambutnya dipotong pendek dan disisir rebah ke salah satu sisi kepala. Pak Dahlan namanya, ia datang agak terlambat karena ia adalah orang sibuk. Bukan hanya karena ia seorang pejabat, tapi belakangan ini sebuah kasus pelik yang diarahkan pihak lain ke arahnya. Padahal ia orang yang jujur. Sebutir berlian di antara sampah-sampah yang menduduki parlemen dan departemen. Tapi beginilah negeri kami ini, supaya aman, kita harus ada di posisi yang tengah-tengah. Terlalu jahat maka kita akan ditangkap dan terlalu jujur kita juga ikut dipidanakan.
“Ada satu hal yang begitu membuat saya muak belakangan ini. Bukan karena napas yang sesak teracuni asap tapi kejadian beberapa waktu lalu. Semua tentu masih ingat ada sebuah puncak kompetisi sepakbola negeri ini yang diselenggarakan di ibukota. Dan yang bertanding adalah kesebelasan daerah tetangga yang begitu dimusuhi oleh banyak pecinta sepak bola di ibukota. Saat itu petinggi negara menetapkan setatus ibukota menjadi siaga satu hanya karena kompetisi yang tidak seberapa itu, mengingat bahwa kompetisi itu tidak memberi pengaruh banyak terhadap persepakbolaan tanah air yang sedang dalam periode terburuknya.”
“Tentu kita semua jadi bertanya-tanya, apa mungkin kabut ini telah membuat kita semua menjadi salah fokus. Ada ribuan anak yang terganggu sekolahnya, orang-orang menjadi semakin sesak saat negara malah lebih ambil pusing pada hal-hal lain yang lebih remeh. Tapi saya tak ingin melanjutkan. Cukup di sini saja, tidak enak rasanya seorang pejabat bicara semacam ini, justru kamilah yang paling layak disalahkan. Karena nyatanya kerakusan kamilah yang telah lebih dulu yang telah membawa kabut-kabut kemunduran bagi bangsa ini sejak lama. Terima kasih.” Pak Dahlan menutup mik-nya. Kata-katanya tadi rasanya begitu berat di mulutnya. Pembicara keempat adalah yang paling senior. Ia pula yang paling tua di ruangan itu, Prof. Basyir namanya. Guru besar yang telah lama berkecimpung di dunia pendidikan. Bahkan lebih keras lagi, karena beliau pun terlibat jauh dalam pemberantasan kebodohan di negeri kami.
“Menarik apa yang disampaikan pak haji tadi, mengenai pergantian tahun. Saya amat setuju untuk tidak ikut merayakannya seperti di luar sana, karena memang tidak ada yang perlu dirayakan. Tahun-tahun yang berganti dan kalender-kalender yang dicetak baru itu sebenarnya hanya berisi angka-angka. Tidak ada batasan berupa peristiwa yang real terjadi. Benar memang bahwa sekali bumi kita berputar mengitari matahari kurang lebih waktunya adalah satu tahun kalender. Tapi tidak ada titik batas awal perhitungan putaran planet kita ini. Semua hanya angka-angka semu. Apalagi secara kasarnya periode revolusi matahari itu bukan tepat 365 hari, tapi lebih sedikit. Dan supaya terasa momentumnya lebih dapat, maka ditetapkanlah jam 12 malam di akhir tahun. Yang nyatanya tidak ada sangkut pautnya dengan putaran bumi. Dan karena itu pula setiap empat tahun sekali ada satu hari yang tiba-tiba bertambah di kalender. Dan itu semua juga hanya sebuah cocok-cocokkan yang memaksa.”
“Dan menyikapi dampak kabut ini, saya merasa amat sedih melihat anak-anak yang terganggu sekolahnya. Mereka harus belajar dengan memakai masker dan udara yang sesak. Tentu ini buruk. Tapi satu pesan saya, selaku guru kalian semua. Jangan pernah menyerah pada keadaan! Dulu para pendahulu dan pioneer bangsa kita tetap semangat belajar di tengah kecamuk perang dan peluru. Tetap teguh mengajar meski dalam keadaan terhimpit dan tertekan. Mari kita tunjukkan bahwa kita pun punya semangat tinggi seperti mereka.” Pak Basyir berbicara penuh semangat. Dikepalnya tangannya ke udara. Tak sebanding dengan tubuhnya yang ringkih dan menua. Para pelajar yang menghadiri acara itu pun menyahut penuh semangat.
Tibalah giliran pembicara terakhir. Pak Tejo, seorang penulis dan budayawan terkenal. Ia pun barusaja selesai menulis sebuah buku terbaru yang di beri judul “Selimut kabut”.
“Para hadirin, saat ini negeri kita sedang dilanda peristiwa aneh. Peristiwa yang telah membuat kehidupan kita begitu terusik, bukti betapa lemahnya kita di atas alam.”
“Dulu saya merasa bahwa “kabut” adalah sebuah kata yang indah, susunan huruf yang bisa dimasukkan dalam sajak-sajak yang puitis. Tapi sekarang telah menjadi bencana bagi kita semua.” Lalu ia mendadak berhenti berbicara.
“Para hadirin, saat ini negeri kita sedang dilanda peristiwa aneh. Peristiwa yang telah membuat kehidupan kita begitu terusik, bukti betapa lemahnya kita di atas alam.”
“Dulu saya merasa bahwa “kabut” adalah sebuah kata yang indah, susunan huruf yang bisa dimasukkan dalam sajak-sajak yang puitis. Tapi sekarang telah menjadi bencana bagi kita semua.” Lalu ia mendadak berhenti berbicara.
Ada seorang penonton yang menunjuk tangan, ia mau protes ternyata, menyela pembicaraan dan berkata. “Pak Tejo! Rasanya apa yang barusan anda sampaikan itu sangat tidak pantas. Mengatakan bahwa kabut adalah satu hal yang indah sangat melukai perasaan kami. Harusnya anda mengerti bagaimana kewalahannya kami dengan keadaan ini.” Seorang panitia pembawa acara pun langsung menegur peserta yang protes itu. “Saudara! Tolong tenang, bersikaplah wajar di sini, tadi itu hanya seloroh-seloroh saja, jangan disikapi secara bodoh dan berlebihan.”
Bukannya duduk dan diam, si pemrotes itu malah semakin lantang berkata. “Itu tidak bisa dianggap candaan, justru ia terlihat bahagia dengan bencana kabut ini karena membuat buku-bukunya semakin laris, karena buku-bukunya itu banyak yang memiliki judul serupa. “Tanah Berkabut”, “Menembus Kabut” dan yang terakhir “Selimut Kabut.” Rasanya bapak ini malah ingin menjual bukunya di sini.” Pak Tejo pun angkat bicara, ia tidak ingin merusak suasana acara ini. Dijawabnya sopan perkataan anak muda tadi. “Silakan saja adik menilai saya semacam itu, tapi sebaiknya saya sarankan untuk membaca dulu buku itu baru berkomentar.”
Seminar itu pun berakhir, para pesertanya pergi memencar dari tempat itu termasuk anak muda yang barusan protes dengan komentarnya yang bodoh itu. Seorang teman memberinya buku tulisan Pak Tejo yang berjudul “Selimut Kabut” itu, tapi sebelum sempat membaca isi di dalamnya, ia sudah terbungkam oleh tulisan di sampul buku itu. “Seluruh hasil penjualan buku ini diperuntukkan sepenuhnya bagi penanganan bencana kabut asap.”
Cerpen Karangan: Rudy Fachruddin
0 komentar:
Posting Komentar