Pembahasan Mengenai Perkembangan Drama di Indonesia
BAB II - PEMBAHASAN
Istilah drama dan
teater seyogianya dibedakan artinya. Drama dimaksudkan sebagai karya
sastra yang dirancang untuk dipentaskan di panggung oleh para aktor di
pentas, sedangkan teater adalah istilah lain untuk drama dalam
pengertian yang lebih luas, termasuk pentas, penonton, dan tempat lakon
itu dipentaskan. Di samping itu salah satu unsur penting dalam drama
adalah gerak dan dialog. Lewat dialoglah, konflik, emosi, pemikiran dan
karakter hidup dan kehidupan manusia terhidang di panggung. Dengan
demikian hakikat drama sebenarnya adalah gambaran konflik kehidupan
manusia di panggung lewat gerak
![]() |
illustrasi : Google |
A. Perkembangan Taraf Awal
Sastra drama di
Indonesia ditulis pada awal abad 19, tepatnya tahun 1901, oleh seorang
peranakan Belanda bernama F. Wiggers, berupa sebuah drama satu babak
berjudul Lelakon Raden Beij Soerio Retno. kemudian bermunculanlah
naskah-naskah drama dalam bahasa Melayu Rendah yang ditulis oleh para
pengarang peranakan Belanda dan/ atau Tionghoa.
Di Indonesia pada awalnya dikenal ada dua jenis teater, yaitu:
1. Teater klasik
Teater kalsik lahir
dan berkembang dengan ketat di lingkungan istana, jenis teater klasik
lebih terbatas, dan berawal dari teater boneka dan wayang orang. Teater
boneka sudah dikenal sejak zaman prasejarah Indonesia (400 Masehi).
Teater klasik sarat dengan aturan-aturan baku, membutuhkan persiapan dan
latihan suntuk, membutuhkan referensi pengetahuan, dan nilai artistik
sebagai ukuran utamanya.
2. Teater rakyat
Teater rakyat tak
dikenal kapan munculnya. Teater rakyat lahir dari spontanitas kehidupan
masyarakat pedesaan, jauh lebih longgar aturannya dan cukup banyak
jenisnya. Teater rakyat diawali dengan teater tutur. Pertunjukannya
berbentuk cerita yang dibacakan, dinyanyikan dengan tabuhan sederhana,
dan dipertunjukkan di tempat yang sederhana pula. Teater tutur
berkembang menjadi teater rakyat dan terdapat di seluruh Indonesia sejak
Aceh sampai Irian. Meskipun jenis teater rakyat cukup banyak, umumnya
cara pementasannya sama. Perlengkapannya disesuaikan dengan tempat
bermainnya, terjadi kontak antara pemain dan penonton, serta diawali
dengan tabuhan dan tarian sederhana. Dalam pementasannya diselingi
dagelan secara spontan yang berisi kritikan dan sindiran. Waktu
pementasannya tergantung respons penonton, bisa empat jam atau sampai
semalam suntuk.
Contoh-contoh teater rakyat adalah sebagai berikut:
1) Makyong dan Mendu di daerah Riau dan Kalimantan Barat,
2) Randai dan Bakaba di Sumatera Barat,
3) Mamanda dan Bapandung di Kalimantan Selatan,
4) Arja, Topeng Prembon, dan Cepung di Bali,
5) Ubrug, Banjet, Longser, Topeng Cirebon, Tarling, dan Ketuk Tilu di Jawa Barat,
6) Ketoprak, Srandul, Jemblung, Gatoloco di Jawa Tengah,
7) Kentrung, Ludruk, Ketoprak, Topeng Dalang, Reyog, dan Jemblung di Jawa Timur,
8) Cekepung di Lombok,
9) Dermuluk di Sumatera Selatan dan Sinlirik di Sulawesi Selatan,
10) Lenong, Blantek, dan Topeng Betawi di Jakarta dan sebagainya,
11) Randai di Sumatera Barat.
Pada dasarnya, drama pada perkembangan taraf awal hanya berupa:
Kegiatan ritual keagamaan (bersifat puitis, melafalkan mantra-mantra).
Pemvisualan dalam bentuk tari dan musik.
Jenis tontonan,
pertunjukan, hiburan tetapi cerita bukan masalah utama, cerita berupa
mitos atau legenda. Drama bukan cerita tetapi penyampaian cerita yang
sudah ada.
Dilakukan oleh kalangan tertentu karena sebagai kegiatan yang khidmat dan serius.
Kekaguman terhadap pemain karena sifat supernatural.
Cerita bersifat
sakral, maka diperlukan seorang pawang ada persyaratan dan aturan ketat
bagi pemain dan penonton tidak boleh melanggar pantangan, pamali, dan
tabu.
Sebagai pelipur lara.
Sebagai sarana mengajarkan ajaran agama (Hindu, Budha, Islam).
Melahirkan kesenian
tradisional. Ciri-ciri kesenian tradisional menurut Kayam 1981: 44
kesenian tradisional-termasuk didalamnya teater-yaitu bentuk kesenian
yang yang hidup dan berakar dalam masyarakatdaerah yang memelihara suatu
tradisi bidaya daerah, akan memiliki ciri-ciri ketradisionalan dan
kedaerahan. Ciri-ciri kesenian tradisional, yang di dalam pembicaraan
ini dimaksudkan sebagai teater tradisional, menurut Umar Kayam adalah:
a. Ruang lingkup atau jangkauan terbatas pada lingkungan budaya yang mendukungnya.
b. Berkembang secara perlahan sebagai akibat dari dinamika yang lamban dari masyarakat tradisional.
c. Tidak spesialis.
d. Bukan merupakan
hasil kreativitas individu, tetapi tercipta secara anonim bersama dengan
sifat kolektivitas masyarakat yang mendukungnya.
Sebagai konsekuensi
kesenian tradisional, teater tradisional mempunyai fungsi bagi
masyarakat. Fungsi yang dilaksanakan oleh masyarakat pendukungnyalah
yang menyebabkan salah satu faktor mengapa teater tradisional ini tetap
bertahan di dalam masyarakatnya. Fungsi teater tradisional sebagaimana
kesenian lainnya bagi masyarakat pendukungnya adalah seperti dirumuskan
berikut ini:
a. Sebagai alat pendidakan (topeng jantu dari Jakarta untuk nasehat perawinan/rumah tangga)
b. Sebagai alat kesetiakawanan sosial.
c. Sebagai sarana untuk menyampaikan kritik sosial.
d. Alat melarikan diri sementara dari dunia nyata yang membosanakan.
e. Wadah pengembangan ajaran agama.
B. Pengaruh Kepercayaan ( Hindu, Buddha, Kristen, dan Islam) pada Drama
Tradisi teater
sudah ada sejak dulu dalam masyarakat Indonesia,karena pada saat itu
masyarakat Indonesia yang masih menganut paham/kepercayaan terhadap
animisme dan dinamisme, maka dari itu setiap upacara adat dan keagamaan
teater selalu dipentaskan untuk mengiringi upacara tersebut. Teater
biasanya dipertunjukkan di pesta perkawinan,selamatan dan sebagainya.
Adapun fungsi teater saat itu adalah sebagai:
1. pemanggil kekuatan gaib,
2. menjemput roh pelindung untuk hadir di tempat pertunjukan,
3. memanggil roh baik untuk mengusir roh jahat,
4. peringatan nenek moyang dengan mempertontonkan kegagahan/kepahlawanan,
5. pelengkap upacara sehubungan dengan peringatan tingkat hidup seseorang, dan
6. pelengkap upacara untukk saat tertentu dalam siklus waktu.
C.Perkembangan Drama Pada Masa Kolonial dan Jepan
1. Belanda
Sepanjang tahun
1930-an para dramawan pribumi kita umumnya adalah sastrawan yang tidak
begitu akrab dengan seni pertunjukan sehingga naskah-naskah yang mereka
buat digolongkan dalam drama kamar, jenis yang lebih merupakan bacaan
daripada bahan pementasan. Para sastrawan muda angkatan Sanusi Pane
mendapatkan pendidikan di sekolah menengah Belanda yang memberikan
pengetahuan mengenai kesenian sekitar tahun 1880-an di negeri itu.
Itulah sebabnya angkatan 1880-an yang muncul di negeri Belanda menjadi
acuan bagi perkembangan drama romantic di Indonesia. Dalam rangka
pengaruh itu, muncullah drama-drama yang menunjukkan perhatian mereka
terhadap masa lampau dan negeri asing seperti Sandyakalaning Majapahit
yang berlatar zaman klasik dan Manusia baru yang berlatar negeri asing
untuk mengungkapkan idialisme dan simpati mereka terhadap kaum
tertindas.
2. Jepang
Dalam Periode Drama
Zaman Jepang setiap pementasan drama harus disertai naskah lengkap
untuk disensor terlebih dulu sebelum dipentaskan. Dengan adanya sensor
ini, di satu pihak dapat menghambat kreativitas, tetapi di pihak lain
justru memacu munculnya naskah drama. Perkembangan drama boleh dikatakan
praktis berubah ke arah lain ketika pada awal tahun 1940-an para
pemerintah Jepang menguasai militer Indonesia dan menentukan dengan
tegas bahwa segala jenis seni, tak terkecuali pertunjukkan, harus
dipergunakan sebagai alat propaganda untuk mendukung gagasan Asia Timur
Raya. Sensor sangat ketat dari pemerintah militer Jepang menyebabkan
dramawan kita tidak bias berbuat lain kecuali mematuhinya dengan
menghasilkan sejumlah drama yang dianggap bisa menyebarluaskan gagasan
dasar Asia Timur Raya, tujuan utama Jepang dalam melakukan ekspansi ke
Asia Timur dan Tenggara. Dengan demikian muncullah drama seperti karya
Merayu Sukma, Pandu Pertiwi. Karya Merayu Sukma jelas-jelas menggunakan
simbol-simbol dalam rangka menyebarluaskan gagasan militerisme, suatu
hal yang pada dasarnya dilakukan juga oleh Rustam Efendi dalam Bebasari,
tetapi tujuan penulisannya berbeda, bahkan berlwanan. Bebasari adalah
drama yang mempropogandakan gagasan kemerdekaan sebagai lakon simbolis
sementara Pandu Pertiwi adalah drama yang memaksakan pelaksanaan gagasan
militerisme Jepang. Persamaannya adalah keduanya menggunakan
simbol-simbol dalam teknik penulisannya.
C. Perkembangan Drama Pada Masa Modern
Pada Periode Drama
Sesudah Kemerdekaan naskah-naskah drama yang dihasilkan sudah lebih baik
dengan menggunakan bahasa Indonesia yang sudah meninggalkan gaya
Pujangga Baru. Pada saat itu penulis drama yang produktif dan
berkualitas baik adalah Utuy Tatang Sontani, Motinggo Boesye dan Rendra.
Pada Periode Mutakhir peran TIM dan DKJ menjadi sangat menonjol.
Terjadi pembaruan dalam struktur drama. Pada umumnya tidak memiliki
cerita, antiplot, nonlinear, tokoh-tokohnya tidak jelas identitasnya,
dan bersifat nontematis. Penulis-penulis dramanya yang terkenal antara
lain Rendra, Arifin C. Noer, Putu Wijaya, dan Riantiarno.
Kini kita berpaling
ke drama-drama modern yang menggunakan naskah. Kiranya sukses drama
tradisional dalam kemandiriannya tidak dapat diwarisi oleh grup-grup
drama modern. Walaupun begitu kehadiran mereka dalam khasanah sastra
Indonesia merupakan fenomena yang tidak dapat dilupakan. Kita kenal
nama-nama besar seperti Bengkel Teater, Teater Populer, Teater Starka,
Teater Alam, dan sebagainya. Profesionalisme dalam berkesenian belum
cukup untuk menjawab tantangan jaman. Dibutuhkan pengelola keuangan dan
organisator yang mampu memanjangkan nafas hidup group-group teater
modern. Paling tidak teater modern membutuhkan impresario atau tokoh
semacam itu.
Di berbagai kota,
banyak dramawan-dramawan muda yang masih memiliki idealisme tinggi
meneruskan kegiatan berteater meskipun secara finansial tidak menjajikan
perbaikan nasib. Di Surakarta, kehidupan Taman Budaya Surakarta (TBS)
dimotori oleh dramawan-dramawan muda, seperti Hanindrawan, Sosiawan
Leak, dan dramawan-dramawan muda dari 9 fakultas di UNS, serta dari
perguruan tinggi lain di Surakarta.
0 komentar:
Posting Komentar