1. Drama Zaman Yunani
Seperti dibicarakan pada
bagian awal, bahwa drama berasal dari zaman Yunani Kuno. Titik tolak dari
pandangan ini bermula dari kegiatan upacara ritual yang dilakukan oleh
masyarakat Yunani dalam menghormati keberadaan dewa sebagai penguasa bumi
sekitar tahun 600 SM. Dalam upacara-upacara keagamaan tersebut mereka
mengadakan festival tarian dan nyanyian hingga melahirkan dramawan masyhur
bernama Thespis.
Tokoh Yunani lainnya yang terkenal
dalam dunia drama adalah Plato, Aristoteles, dan Sophocles. Dengan cara
pandangnya yang berbeda, ketiga tokoh ini berperan penting dalam meletakkan dasar-dasar
dramaturgi yang dikenal sekarang. Plato yang terkenal dengan karyanya The Republic memandang seni sebagai
mimetik atau tiruan dari kehidupan jasmaniah manusia. Aristoteles berpendapat
berbeda, dia memandang karya seni bukan hanya sebagai imitasi kehidupan fisik
belaka tetapi harus juga dipandang sebagai karya yang mengandung kebajikan
dalam diri karya itu sendiri.
Berbeda dengan Plato dan
Aristoteles, Sophocles (496-406 SM.) memandang seni sebagai pelukisan manusia
seperti seharusnya manusia. Drama-dramanya tidak mempersoalkan kejahatan dan
hukumannya secara abstrak. Sedangkan pola drama yang digunakan selalu
memunculkan tokoh berkepribadian kuat yang memilih jalan hidup meski berat dan
sulit hingga membuatnya menderita. Beberapa karya dramanya yang terkenal yaitu Ayax, Antigone, Wanita-wanita Trachia,
Oidipus Sang Raja, Electra, Philoctetes, dan oidipus di Kolonus. Beberapa
tokoh drama Yunani lainnya adalah Aeschylus (525-SM.), Euripideus (484-406 SM), Aristophanes (448-380 SM),
dan Manander (349-291 SM.).
Lakon- lakon drama yang
terkenal di Yunani umumnya seputar kisah tragedi dan komedi. Drama tragedi cenderung menyajikan kisah yang membuat penonton tegang, takut, dan kasihan. Tokoh drama yang terkenal dalam drama tragedi zaman
Yunani Kuno adalah Aeskill (525-456 SM) dengan karyanya yang terkenal seperti Trilogi Oresteia, Orang-orang Persia,
Prometheus dibelenggu, dan Para Pemohon, Sophokles (496-406 SM)
dengan karyanya yang terkenal seperti; Trilogi
Oidipus, Ajax, Wanita-wanita Trachia,
dan Electra, juga Euripides (484-406 SM)
dengan karyanya yang terkenal seperti; Hercules,
Medea, Wanita-wanita Troya, dan Cyclop.
Drama
komedi biasanya menyajikan kisah
yang lucu, kasar dan sering mengeritik tokoh terkenal pada waktu itu. Tokoh drama yang
terkenal dalam drama komedi zaman Yunani Kuno adalah Aristhipanes (445-385 SM)
dengan karyanya yang terkenal seperti Para
Perwira, Lysistrata, dan Burung-burung,
dan Menander (349-291 SM) dengan karyanya yang terkenal yaitu Rasa Dongkol. Selain dua jenis drama
tersebut, drama zaman Yunani mengenal juga drama satyr, yaitu bentuk drama yang
berupa komedi ringan dan pendek. Unsur humor yang disajikan merupakan parodi
terhadap mitologi. Karya satyre Yunani Kuno yang diketahui hanya Cyclop karya
Euripides.
Semua
lakon yang sudah ditulis dalam bentuk naskah drama ini dipentaskan di panggung terbuka yang berada di
ketinggian. Panggung tersebut berada di tengah-tengah yang dikelilingi oleh
tempat duduk penonton yang melingkari bukit. Gedung pementasan drama yang
terkenal di Athena pada saat itu adalah Teater
Dionysius di samping bawah bukit Acropolis, pusat kuil kota Athena yang
dapat menampung 14.000 penonton.
Dalam prosesnya, pementasan
drama di Yunani seluruhnya dimainkan pria. Bahkan peran wanitanya dimainkan pria dan
memakai topeng. Hal ini disebabkan karena setiap
pemain memerankan lebih dari satu tokoh. Selain pemeran utama juga ada
pemain khusus untuk kelompok koor (penyanyi), penari, dan narator (pemain yang
menceritakan jalannya pertunjukan).
2. Drama Zaman Romawi
Pada zaman Romawi, drama mulai
dipentaskan pada tahun 240 SM di kota Roma oleh seniman Yunani yang bernama Livius Andronicus.
Bentuk yang dipentaskan pada saat itu adalah drama tragedi. Penulis drama
tragedi lainnya yang terkenal adalah Lucius Annaeus Seneca. Selain bentuk
tragedi, drama zaman Romawi juga mementaskan bentuk komedi meskipun dalam
penyajiannya banyak mencontoh dan mengembangkan komedi baru Yunani. Penulis
drama tragedi zaman Romawi yang terkenal adalah Terence dan Plautus.
Karena merupakan hasil adaptasi dari drama Yunani,
maka dalam konsep pertunjukkan drama Romawi juga terdapat konsep pertunjukkan
drama Yunani. Meski demikian, drama zaman Romawi memiliki kebaruan-kebaruan dalam penggarapan dan penikmatan yang asli
dimiliki oleh masyarakat Romawi dengan ciri-ciri sebagi berikut :
1.
Koor tidak
lagi berfungsi mengisi setiap adegan.
2.
Musik
menjadi pelengkap seluruh adegan. Tidak hanya menjadi tema cerita tetapi juga
menjadi ilustrasi cerita.
3.
Tema
berkisar pada masalah hidup kesenjangan golongan menengah.
4.
Karekteristik
tokoh tergantung kelas yaitu orang tua yang bermasalah dengan anak-anaknya atau
kekayaan, anak muda yang melawan kekuasaan orang tua dan lain sebagainya.
5.
Seluruh
adegan terjadi di rumah, di jalan dan di halaman.
Dalam sejarahnya, drama zaman Romawi menjadi penting karena pengaruhnya pada
zaman Renaisance. Banyak penulis Renaisance yang mempelajari drama-drama Yunani lewat
saduran-saduran Romawinya, misalnya dramawan William Shakespeare. Namun secara perlahan,
drama Romawi mengalami kemunduran
setelah bentuk Republik diganti dengan kekaisaran tahun 27 Sebelum Masehi. Drama Romawi kemudian tidak muncul lagi setelah terjadi
penyerangan bangsa-bangsa Barbar serta munculnya kekuasaan gereja.
Pertunjukan drama terakhir yang
diselenggarakan di Roma terjadi
tahun 533 M.
3. Drama Abad Pertengahan
Drama abad pertengahan
berkembang antara tahun 900 – 1500 M dengan mendapat pengaruh dari Gereja
Katolik. Dalam pementasannya terdapat nyanyian yang dilagukan oleh para rahib
dan diselingi dengan koor. Kemudian ada pagelaran ‘pasio’ seperti yang sering
dilaksanakan di gereja menjelang upacara Paskah sampai saat ini. Lakon yang
dimainkan mula-mula peristiwa kenaikan Yesus ke surga, sekitar cerita Natal,
cerita-cerita dari bible, hingga lakon tentang para orang suci (santo-santo).
Ketika gereja tidak memperbolehkan
mementaskan drama di dalam gereja, maka drama kemudian dipentaskan di jalan-
jalan dan di lapangan. Hal ini berpengaruh pada perubahan tema lakon yang lebih
cenderung tentang kebajikan, kekayaan, kemiskinan, pengetahuan, kebodohan, dan
sebagainya. Pementasan drama seperti ini disebut drama moral, karena
mengajarkan adanya pertarungan abadi antara kejahatan dengan kebaikan dalam
hati manusia. Di tengah pementasan, biasanya dimasukkan unsur badut untuk
memancing tawa penonton karena jenuh menyaksikan pementasan yang berjalan
lamban. Ketika muncul reformasi sekitar tahun 1600 M, perkembangan drama abad
pertengahan mengalami kemunduran hingga lenyap sama sekali.
Ciri-ciri teater abad Pertengahan adalah sebagai berikut:
a)
Dimainkan
oleh aktor-aktor yang belajar di universitas sehingga dikaitkan dengan masalah
filsafat dan agama.
b)
Aktor
bermain di panggung di atas kereta yang bisa dibawa berkeliling menyusuri
jalanan.
c)
Dekor
panggung bersifat sederhana dan simbolis.
d) Lirik-lirik dialog drama menggunakan dialek
atau bahasa.
e)
Dimainkan di tempat umum dengan memungut bayaran.
f)
Tidak
memiliki nama pengarang secara pasti untuk lakon yang dipentaskannya.
4. Drama Zaman Italia
Selama abad ke-17, Italia
berusaha mempertahankan bentuk Commedia
dell’arte yang bersumber dari komedi Yunani. Pada tahun 1575 bentuk ini sudah populer di Italia. Kemudian menyebar luas
di Eropa dan mempengaruhi semua bentuk komedi yang diciptakan pada tahun 1600.
Ciri Khas Commedia Dell’arte adalah:
a)
Menggunakan
naskah lakon yang berisi garis besar cerita.
b)
Para
pemain dibebaskan berimprovisasi mengikuti jalannya cerita dan dituntut
memilikik pengetahuan luas yang dapat mendukung permainan improvisasinya.
c)
Cerita yang
dimainkan bersumber pada cerita yang diceritakan secara turun menurun.
d)
Cerita
terdiri dari tiga babak didahului prolog panjang.
e)
Plot
cerita berlangsung dalam suasana adegan lucu.
f)
Peristiwa
cerita berlangsung dan berpindah secara cepat .
g)
Terdapat
tiga tokoh yang selalu muncul, yaitu tokoh penguasa, tokoh penggoda, dan
tokoh pembantu.
h)
Tempat
pertunjukannya di lapangan kota dan panggung-panggung sederhana.
i)
Setting
panggung sederhana yaitu; rumah, jalan, dan lapangan.
Para penulis naskah komedi
terkenal pada masa itu adalah Carlo Goldoni, dengan karya-karyanya seperti: Hamba Dua Majikan (1745), Keluarga Pedagang Antik (1750), Si Pendusta (1750), Nyonya Sebuah Penginapan (1753); dan Carlo Gozzi, dengan
karya-karyanya yang banyak mengambil tokoh-tokoh dongeng dan fantasi. Commedia
dell’arte mulai merosot dan tidak populer di Italia pada akhir abad ke-18.
Sedang dalam tragedi, penulis Italia yang menonjol pada abad itu adalah
Vittorio Alfieri dengan karyanya yang terkenal yaitu Saul (1784) dan Mirra
(1786).
5. Drama Zaman Elizabeth
Pada awal pemerintahan Ratu
Elizabeth I di Inggris (1558-1603), drama berkembang dengan sangat pesatnya. Gedung-gedung pementasan besar bermunculan mengikuti gedung pemntasan yang telah lebih dulu
diangun atas prakarsa sang ratu. Salah satu gedung pementasan terbesar yang disebut Globe, bisa menampung 3.000
penonton. Globe mementaskan drama-drama karya William Shakespeare, penulis
drama terkenal dari inggris yang hidup dari tahun 1564 sampai tahun1616.
Ciri-ciri teater zaman Elizabeth adalah:
a)
Menggunakan
naskah lakon yang dilaognya cenderung berbentuk puitis dan panjang-panjang.
b)
Penyusunan naskah lebih bebas , tidak mengikuti hukum
yang sudah ada.
c)
Pertunjukan
dilaksanakan siang hari dan tidak mengenal waktu istirahat.
d) Tempat adegan ditandai dengan ucapan yang disampaikan dalam dialog para tokoh.
e)
Tokoh
wanita dimainkan oleh pemain anak-anak laki-laki, bukan pemain wanita.
f)
Penontonnya berbagai lapisan masyarakat dan diramaikan
oleh penjual makanan dan minuman.
g)
Corak
pertunjukannya merupakan perpaduan antara teater keliling dengan teater sekolah
dan akademi yang keklasik-klasikan.
Dramawan
paling terkenal pada zaman ini adalah William Shakespeare (1546-1616). Selain Romeo dan Juliet, Shakespeare juga
menulis beberapa naskah drama lainnya seperti The Comedy of Error, A Midsummer Night’s Dream, The Merchant of Venice,
Julius Caesar, Hamlet, Macbeth, King Lear, Richard II, Richard III, Hnery V,
dan sebagainya. Di Indonesia, beberapa naskah drama karya Shakespeare
diterjemahkan oleh Trisno Sumardjo, Muh. Yamin, dan Rendra. Dramawan lainnya setelah
Shakespeaer adalah Thomas Dekker, Thomas Heywood, John Marston, Thomas
Middleton, dan Christopher Marlowe.
Kegiatan drama
di Inggris sempat mengalami kemunduran ketika kaum Puritan yang
berkuasa menutup dan melarang segala bentuk kegiatan
pementasan drama. Namun setelah Charles II berkuasa kembali, ia
menghidupkan kembali kegiatan drama. Fase ini disebut zaman
restorasi. Adapun ciri- ciri teater
pada zaman restorasi adalah:
a)
Tema
cerita bersifat umum dan penonton sudah mengenalnya.
b)
Tokoh
wanita diperankan oleh Pemain wanita.
c)
Penonton
tidak lagi semua lapisan masyarakat, tetapi hanya kaum menengah dan kaum atasan.
d)
Gedung
teater mencontoh gaya Italia.
e)
Pementasan diselenggarakan di gedung
proscenium diperluas dengan menambah area yang disebut
apron sehingga terjadi komunikasi yang intim antara
pemain dan penonton.
f)
Setting
panggung bergambar perspektif dan lebih bercorak umum, misalnya taman
atau istana.
0 komentar:
Posting Komentar