Hesty, seorang gadis remaja terlihat masih berdiri mematung memandangi bangunan tua dengan warna yang terlihat telah memudar, ada sedikit cat yang sudah mengelupas sehingga menampakkan warna putih asli bangunan itu. Bangunan yang dibangun lebih dari sepuluh tahun yang lalu itu terlihat masih kokoh namun agak terpisah dari rumah penduduk setempat, “PUSTU BENTENG PAREMBA” Tulisan itu cukup besar dan jelas sehingga dari jarak yang cukup jauh dapat dibaca oleh remaja belia berambut sebahu yang masih berdiri tanpa bergeming.
Hesty, Bidan Desa yang baru ditempatkan di Desa itu, sengaja datang untuk melihat pustu dimana dia akan mengabdikan ilmunya dan menunjukkan kredibilitasnya sebagai bidan yang siap memberikan pertolongan kepada siapapun yang membutuhkan keahliannya.
Hesty mulai melihat segenap ruangan dalam gedung itu, Hanya ada kursi kayu, deretan lemari yang berisi obat-obat generik, meja kecil yang di atasnya ada sebuah sphygmomanometer lengkap dengan stetoskop yg biasa digunakan untuk mengukur tekanan darah pasien, dan sebuah boneka lusuh di atas salah satu lemari obat yag tepat menghadap ke jendela. di sudut kanan tampak sebuah kamar yang berukuran sedikit lebih besar dibanding ruangan yang lain, di dalamnya ada sebuah tempat tidur dan lemari pakaian yang mulai rapuh dikerubuti rayap.
Hesty hendak membaringkan badan tuk mengusir lelah setelah perjalanan jauh dari Kota Makassar, namun belum sempat punggungnya menyapu kasur, tiba-tiba ada suara ketukan pintu dari luar “tok… tok.. Assalamu Alaikum..” sejurus kemudian hesti beranjak dari tempatnya hendak membuka pintu, dari balik pintu hesti melihat sesosok lelaki tegap dengan jaket hitam sembari melempar senyum ke arahnya.” Perkenalkan nama saya “gasang” orang biasa memangil saya “igas” tukas lelaki tersebut sembari mengulurkan tangan hendak bersalaman. “Oh.. yach.. nama saya hesty, saya bidan baru di desa ini” jawab hesty singkat seraya menyambut uluran tangan lelaki yang baru dikenalnya. Ada desiran aneh yang tiba-tiba muncul saat meraih tangannya, getaran itu nyaris membuat jantung hesty copot dan sempat membuat matanya berkaca-kaca, gugup… saking gugupnya hesty lupa melepaskan genggaman tangannya, “lelaki ini guanteng…” ucap hesty membatin.
“Oh.. ya, bu Bidan, saya Sekdes di sini, berhubung Pak Desa ada Rapat di Kecamatan, beliau mengamantkan saya untuk menyambut Bu bidan, eh.. ternyata ibu dah nyampe duluan, maaf ya atas pelayanan kami yg kurang memuaskan”
“ah… nggak apa-apa, lagian tadi aq diantar gratis oleh tukang ojek dari pangaparang, aku anggap itu sudah bagian dari pelayanan yang memuaskan, he.. he..” jawab hesty seraya tertawa lirih, membuat gigi behelnya tampak berkilau saat di terpa pantulan cahaya kaca jendela.
—
Pertemuan singkat dengan Pak sekdes tadi siang, ternyata membuat mata hesty tak bisa terpejam, senyuman pria tegap berbadan kekar itu seakan akan menari-nari di pelupuk mata hesty, memorynya serasa berputar surut mengingat kenangan 2 tahun silam semasa kuliah di AKBID Bina Husada Makassar. “Eddy” entah mengapa tersebut kembali nama itu setelah sekian tahun terpendam dan tak ingin kuingat lagi, “ah… kenapa aq harus mengingat dia yang telah menghancurkan asaq? Dan kenapa wajah itu harus kembali ku kenang hanya karena siang tadi aq bertemu pak sekdes yg sangat mirip dengannya? oooh… tuhan aq mohon jangan kau torehkan luka yang sama saat luka lama itu belum pulih, jangan biarkan aq hanyut dalam cerita asmara Duka yang tak kunjung usai…” rintihan hesty tanpa sadar telah membuat bantal dikepalnya menjadi lembab, butiran air mata yg meleleh di kedua pipinya telah membekaskan titik duka yg mendalam dari dalam jiwanya, goncangan peristiwa masa lalu membuatnya terenyuh dan hanyut dalam kesedihan malam itu.
Pagi itu tak secerah hari kemarin, langit mulai berubah warna, matahari perlahan mulai tenggelam dalam peluk awan. Orang-orang enggan keluar rumah dan lebih banyak yg menghabiskan waktu pagi itu dengan duduk di beranda ditemani secangkir kopi kawah ( kopi asli tanpa gula ). sebentar lagi akan turun hujan deras, hanya beberapa orang yg terlihat melintas di pojok jalan desa sembari menenteng cangkul dan sebilah badik berselempang di pinggang. ini adalah hari pertama hesty akan melaksanakan tugasnya di desa itu, hesty mulai membuka koper yg belum sempat dia buka semalam, di dalamnya penuh perlengkapan medis dan beberapa jenis obat bekal dia akan memulai bekerja. sementara di ruang tengah telah menunggu seorang perempuan paruh baya, mungkin dia adalah pasien pertama hesty.
“Anu Anang… Mangilu mananni te’e buku-bukukku.. natea rapa matakku ke bongiii” jawab perempuan itu seraya memegangi persendian lututnya. Hesti hanya melongo, maklum.. dia baru mendengar bahasa itu, ternyata perempuan paruh baya tersebut hanya bisa memahami bahasa Indonesia namun belum mampu mengutarakannya sehinga harus menggunakan bahasa asli daerahnya, “Pattinjo” adalah salah satu suku mayoritas di kecamatan lembang dan masih merupakan rumpun massinrengpulu, dan masih bagian dari wilayah sawitto, sebelum terpecah dari kerajaan Letta, begitu sejarah di daerah itu menurut penuturan beberapa tokoh di daerah tersebut.
“maaf.. bu, apa yang ibu maksud ? Tanya hesty dengan tatapan bimbang.
“kenjora tu’u kuissen mabicara Malaju anang…! Hesty semakin bingung, tak tahu harus melakukan apa, hingga akhirnya dia mulai memutar otak bagaimana caranya untuk berkomunikasi dengan orang yg tidak mengerti bahasa yg diucapkannya. “Apa ibu mengerti apa yg saya ucapkan..?” “iye kuissenni anang.. ” jawabnya singkat sembari menganggukkan kepalanya. “Hesty mulai faham ucapan perempuan itu dari isyarat anggukan kepala saat menjawab pertanyaannya. klo begitu tunjukkan bagian mana yg sakit?’ tanya hesti seraya mendemonstrasikan maksud ucapannya. perempuan itu langsung tanggap dengan ucapan hesty dan kemudian mulai menunjuk bagian tubuhnya yg sakit. lama komunikasi itu berjalan hinga kemudian hesty mampu menangkap maksud dari pasien pertamanya hari itu, sungguh hari yang melelahkan dengan pengalaman pertama yg sangat menggelikan, sementara di ruang tungu masih ada beberapa orang yang menungu giliran, ternyata hari pertama hesty cukup padat pengunjung di pustu Benteng Paremba.
Hujan mulai turun, titik-titik air mulai membasahi dedaunan dan tampak air mulai menggenang di antara lubang-lubang jalan beraspal yang mulai rusak, hesty menutup daun pintu dan seluruh jendela agar percikan air tak masuk ke dalam ruangan. Kali ini pelayanan cepat ditutup, karena cuaca sepertinya tak bersahabat dan tak ada lagi pengunjung yang datang saat itu. hesty kemudian bergegas menuju ruang dapur tuk mengisi kampong tengah, karena sudah sejak tadi perutnya menggerutu minta diisi.
—
Tak terasa 2 bulan sudah telah berlalu, hesty mulai faham beberapa bahasa dan adat di daerah itu, apalagi setelah kenal dengan “Jara” seorang kader Posyandu yang sering menemaninya berkeliling kampung dan membantu saat posyandu di polindes. “Jara” wanita ulet yang juga masih lajang ini betul-betul telah banyak memberikan sumbangsih tenaga selama hesty bertugas di desa Benteng Paremba, dan mengenalkan seluk beluk Desa kepadanya, bahkan sempat bercerita tentang sosok “Gasang” sekdes yang pertama kali dikenal olehnya saat baru datang di Desa itu.
Hari ini hesty tengah bersiap-siap ke kantor Desa, ada undangan dari Bapak Kepala Desa untuk menghadiri pertemuan di Balai desa hari ini, hesty berangkat ditemani kader setianya “jara” ke balai desa, sesampai di sana, telah banyak tokoh masyarakat yg sudah hadir termasuk tokoh pemuda dan tokoh adat, hesty dijemput pak sekdes dan mempersilahkan duduk di bagian depan
“Selamat Pagi Bu Bidan, Silahkan Duduk” Ujar Pak sekdes seraya setengah membungkuk mempersilahkan hesty duduk.
Pertemuan dibuka dengan sepatah kata dari Bapak Kepala Desa kemudian diikuti dengan diskusi singkat antar peserta yang hadir, rupanya rapat kali ini membahas Program Lomba Desa yang tentunya akan malibatkan beberapa pihak termasuk Posyandu. hesty mengikutinya secara saksama terutama pada saat pak sekdes ikut memberikan beberapa ide dalam diskusi tersebut, hesty sempat terkagum kagum dalam hati setelah mendengar retorika bahasa pak sekdes yg cukup indah dan fasih, bahkan seakan menghipnotis seluruh pesrta rapat saat beliau angkat bicara. Ide-idenya cukup brilian, membuat semua peserta hanya mengangguk tanda setuju, dan kemudian diakhiri dengan aplaus oleh seluruh peserta sebelum kemudian rapat ditutup.
“Bu Bidan…!!” Tiba-tiba terdengar suara dari belakang menyapa saat hesty baru melangkah beberapa langkah hendak meninggalkan balai desa, spontan hesty menoleh, ternyata Pak sekdes tengah berlari kecil datang mengahampirinya. “Maaf bu klo mengganggu sebentar, begini bu Bidan, sebentar malam ada acara Rapat Panitia untuk hari pernikahan adik saya, untuk itu saya bermaksud mengundang Bu Bidan untuk hadir di acara tersebut, dan merupakan suatu kehormatan bagi saya jika sekiranya ibu Bidan berkenan hadir” “ooh.. klo untuk itu pak insya allah aq datang, eh.. ngomong-ngomong jam berapa acaranya Pak?”.. “insya allah habis sholat isya, aq tunggu ya..” ucap pak sekdes dengan senyuman lirih sebelum kemudian berlalu meninggalkan balai Desa.
Malam itu suasana agak berbeda dari malam2 sebelumnya, ada gelak tawa sesekali terdengar diantara riuh suara alunan musik di sebuah rumah penduduk yang terletak tepat di jantung desa. Rumah pak sekdes malam itu telah dipenuhi undangan yg telah hadir untuk mengikuti salah satu ritual adat di daerah tersebut, Rapat Panitia merupakan salah satu rangkaian adat yg biasanya dilakukan oleh penduduk menjelang hari pernikahan untuk membicarakan seluk beluk dan persiapan dalam walimah nanti, hesty malam itu hadir dengan gaun pink dipadu jilbab putih sehingga terlihat angun dan sangat feminim. ketika baru saja hesti hendak melangkah masuk di depan tampak Pak sekdes dengan tergesa gesa menyambut kedatangan hesty, “mari bu… silahkan masuk.. oh.. ya tungu aku panggilkan adik aq yg akan menikah”
beberapa menit kemudian pak sekdes keluar dari ruang tengah bersama seseorang lelaki dengan wajah yg sangat mirip dengan wajah pak sekdes, “perkenalkan ini adik aq, Namanya “Eddy” dia alumni s1 Keperawatan di Makassar, ujar pak sekdes sembari menunjuk ke arah Eddy, hesty seakan tak percaya dengan apa yang dia lihat, perlahan dia kucek matanya untuk memastikan klo dia tidak sedang bermimpi, ahh… aq tidak mimpi.. ucap hesti setengah berbisik. Sementara Eddy hanya sesekali menunduk grogi, seakan menyembunyikan sesuatu yg tak ingin diketahui oleh orang lain, dia seperti orang bego yg tak tahu harus berbuat apa, seraba salah…
Tak ada sepatah katapun yg mampu keluar dari lidah keduanya, semuanya sama-sama diam dan asyik dalam fikiran masing-masing. ingin rasanya hesty segera pulang saat itu juga karena tak kuasa menatap wajah Eddy, andai tak ingat kebaikan pak sekdes yg begitu ramah padanya. Ahhh… Semuanya telah terjadi, peristiwa masa lalu hanyalah secuil kisah yg tak perlu menjadi obsesi yg akan mengahambat perjalanan masa depan. Perjalanan masih panjang masih banyak cerita kehidupan yg lebih baik yg menanti untuk kita hiasi dengan sejarah indah dalam kehidupan ini.
Cerpen Karangan: Afif Natsir
0 komentar:
Posting Komentar